Kamis, 09 Mei 2013

Remaja Makin Bergaul Bebas, Prihatin Saja Tak Cukup


Komisi Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) di tahun 2012 mengungkap bahwa ada 62,7 % remaja SMP/SMA mengaku telah melakukan hubungan seks pranikah alias sudah tidak perawan. KOMNAS-PA juga mengungkap bahwa 21,2 % dari siswi-siswi tersebut mengaku telah melakukan aborsi. Data yang sungguh mencengangkan. Kita mungkin bertanya-tanya apakah data ini valid dan bisa dipercaya? Karena jika benar demikian, maka lebih dari setengah siswa-siswi SMP/SMA sudah terjebak pergaulan bebas. 

Data ini sebenarnya merupakan gambaran perilaku remaja yang ada disekitar kita.  Tak bisa dipungkiri bahwa perilaku seks bebas sudah menjadi gaya hidup mereka. Ditengah arus informasi yang begitu terbuka, remaja terjebak perilaku hedonism (pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia), remaja berlomba-lomba mencari kesenangan tanpa memikirkan dampak buruk yang mungkin timbul di kemudian hari karena perilaku tak bertanggungjawab mereka. Pergaulan bebas yang dulu identik dengan remaja di kota besar saat ini telah mewabah hingga ke pelosok daerah. Begitu juga dengan kota kami ini yang terkenal dengan semboyan “Kota Bertakwa’.  Kota kami yang terletak di ujung tenggara pulau sulawesi tak jauh berbeda. Kita masih teringat dengan jelas berita di TV Lokal beberapa waktu yang lalu tentang ditemukannya mayat bayi baru lahir yang di buang di dalam tas hitam di Kendari Beach, atau berita ditemukannya mayat seorang mahasiswi berbadan dua yang tewas mengenaskan, belum lagi terdeteksinya satu orang remaja SMU yang terinfeksi  virus HIV-AIDS. Sungguh fakta-fakta yang memilukan dan memprihatinkan. 

Ahh, mungkin sebagian dari kita meragukan data yang dilansir KOMNAS-PA bahwa sebagian besar siswa SMP-SMA sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah tapi mari membuka mata mencermati perilaku remaja disekitar kita, jujur kita harus mengakui bahwa fakta-fakta tersebut benar adanya. Saat ini perilaku ‘gaul bebas’ telah mengancam kesehatan fisik, mental, sosial, ekonomi dan spritual remaja. Bukan hanya Aborsi dan penyakit Infeksi Menular Seksual (termasuk HIV AIDS) yang mengancam mereka, bahkan tindakan kriminal semisal ‘pembunuhan’ juga bisa saja mereka lakukan disaat tak menemukan jalan keluar dan tak sanggup menanggung beban akibat perilaku bebas mereka. Bukankah data-data ini bagai fenomena gunung es?! Jumlah yang tidak terekspose tentu lebih banyak lagi.

Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah mengapa bisa bayi baru lahir yang tak berdosa dibunuh dan dibuang oleh orang tuanya? Mengapa remaja-remaja tadi bisa aborsi? Mengapa mereka bisa mengalami Kehamilan Tak Diinginkan (KTD)? Kenapa mereka bisa melakukan seks pranikah? Jawabannya hanya satu, karena remaja itu telah melakukan aktifitas khusus menjalin hubungan spesial antara laki-laki dan perempuan yang familiar dikenal dengan istilah PACARAN. Mereka bisa tergelincir dalam perilaku berisiko tersebut karena buah dari berpacaran. Jadi ringkasnya pacaran adalah pintunya bergaul bebas.  

Remaja secara psikologis masih mencari jati diri, labil, dan penuh coba-coba. Disisi lain tidak semua remaja mendapatkan informasi kesehatan reproduksi yang benar dan tidak semua mampu mengakses sumber informasi kesehatan dengan baik, ditambah lagi kontrol sosial (kontrol masyarakat) yang rendah, budaya individualistik begitu meraja, hanya sedikit dari kita yang mau dan mampu menjadi pengontrol sosial untuk orang-orang disekitar kita, belum lagi aturan yang juga tidak tegas sehingga makin menjamurlah perilaku bergaul bebas ini.

Sebagai pemerhati anak dan remaja kita tentu prihatin dengan kondisi ini (pacaran yang berujung pergaulan bebas). Masalah ‘pergaulan bebas’ ibarat gajah dipelupuk mata. Di akhir tahun lalu Kemenkes melansir Indonesia adalah negara dengan penyebaran HIV AIDS tercepat di ASEAN. Sebagai faktor risiko HIV AIDS, perilaku ‘bergaul bebas’ tentu berkorelasi positif dengan prestasi Indonesia ini.  Rumusnya sederhana semakin marak ‘pacaran=gaul bebas’ maka semakin berpotensi  menyebarkan ‘HIV AIDS’.

Kita tentu prihatin, tetapi prihatin saja tidak cukup. Bentuk keprihatinan harus dibarengi dengan wujud perilaku nyata. Mengutip ungkapan KPA terkait pornografi dan kekerasan seksual pada anak; jika tidak berbuat sesuatu kita akan menuai ‘panen raya’ buah pornografi. Sama saja, jika tidak berbuat sesuatu kita akan menuai ‘panen raya’ buah pergaulan bebas.  Banyak hal yang menjadi PR kita; 1). Remaja butuh dicerdaskan tentang risiko dan bahaya pergulan bebas, kematangan fisiologis harus dibarengi kematangan psikologis.  Pendidikan kesehatan yang baik dan benar harus bisa terakses oleh mereka, remaja harus bisa mandiri menentukan pilihan untuk kesehatan mereka tentu dengan landasan pengetahuan yang baik, pengetahuan yang benar untuk membangun kesehatan holistik; fisik, mental, sosial, ekonomi, dan spiritual. Jika konsep sehat paripurnah dengan lima aspek ini sudah bisa dipahami oleh remaja, maka pilihan ‘bergaul sehat’ bisa diwujudkan. 2).  Kontrol Masyarakat harus berjalan. Bukan saatnya lagi kita bersifat egois dan individualistik, setiap diri kita harus mau dan mampu menjadi pengontrol sosial bagi orang-orang disekitar kita.  Mari bersama mencegah perilaku berisiko ‘bergaul sakit’.  Sederhananya beranikah kita mengkampanyekan “Say No To PACARAN!” untuk diri, keluarga, dan orang-orang disekitar kita?   Ini adalah bentuk tanggungjawab sosial dan kontrol sosial mencegah dampak buruk pergaulan bebas. 3).  Kebijakan publik yang mendukung upaya ‘bergaul sehat untuk remaja’ tetap harus diupayakan.  Media advokasi saat ini masih diperlukan, kita tentu harus terus berupaya agar terwujud aturan publik yang betul-betul dapat menjamin kesehatan masyarakat khususnya kesehatan remaja sebagai bentuk investasi masa depan.^^

Salam Sehat




1 komentar:

Siti Nurfadilah mengatakan...

Makasih udah di share infonya bu...

Salam Sehat....