Rabu, 17 Agustus 2011

Jangan Menunda Silahturahmi

Pagi ini baru saja selesai melayat ke rumah teman bermain semasa kecil..ibunya wafat semalam selepas isya, padahal masih sempat berbuka bersama keluarga…ibu yang sangat baik dan ramah..satu hal yang sy ingat pada beliau adalah jika sewaktu kecil sy bertengkar (istilah kami baku bombe) dengan anaknya yang dibela pasti sy bukan anaknya.. yah ajal bisa kapan saja menjemput manusia, jika saat ini masih sehat tak ada yang menjamin beberapa jam kedepan kondisinya masih sama.. saya pun sempat kaget dengan kepergian beliau.. rasa kaget juga bercampur penyesalan yang luar biasa karena beberapa minggu lalu saat bertemu dengan teman tsb di sebuah toko buku sy menanyakan kabar beliau dan alhamdulillah katanya sehat walafiat., sy berjanji akan berkunjung bersilaturahmi ke rumah mereka..sudah cukup lama memang tak jumpa beliau sejak menempuh pendidikan di luar kota hingga menyelesaikan studi akhir tahun lalu sy belum menyempatkan diri bersilaturahmi..akhirnya hari ini sy ke rumah beliau tapi tidak sempat lagi menjabat tangan dan melihat senyum manisnya,. menyesal kenapa sejak ada niat tak menyegerakan diri,.padahal momen ramadhan ini merupakan momen yang sangat baik menyambung silaturahmi..insyaAllah peristiwa ini menjadi pelajaran berharga jika suatu saat ada niat berkunjung segera dilaksanakan hingga tak ada lagi penyesalan seperti hari ini..

selamat jalan bunda…semoga diberi tempat terbaik disisinya…

Allahhummaghfir laha warhamha wa’aafiha wa’fu anha…Amin..

Jumat, 03 Juni 2011

Budaya Berpantang Makan pada Ibu Hamil

Banyak kepercayaan yang masih berlaku di masyarakat yang diperuntukkan untuk ibu hamil.., percaya ga percaya kepercayaan yang berlaku secara turun temurun ini masih ada., tentu saja ada sebagian dari kita yang bertanya-tanya hari gini masih percaya hal seperti itu?! Apa kata dunia!!! Eits., jangan salah ternyata kepercayaan seperti ini masih hidup dan ada ditengah masyarakat, kepercayaan berupa anjuran dan pantangan mengkonsumsi makanan tertentu ini biasanya dihubungkan dengan sifat dan bentuk dari makanan tersebut,. misalnya :
1. Telur ayam kampung dianjurkan diasosiasikan dengan proses melahirkan yang akan mudah seperti mudahnya ayam bertelur.,
2. Air kelapa muda diianjurkan karena air kelapa muda nampak bersih dan bening diasosiasikan anak akan cantik dan mempunyai kulit yang bersih setelah lahir.
3. Minyak kelapa dianjurkan karena sifat minyak kelapa yang licin diasosiasikan dengan anak yang tidak akan lengket dalam rahim serta mudah melewati jalan lahir.
4. Cumi-cumi dipantang sebab cumi-cumi berjalan maju mundur diasosiasikan dengan proses melahirkan yang sulit di pintu lahir krn bayi akan menyulitkan persalinan dengan maju mundur pada saat proses kelahiran.
5. Kepiting dipantang karena dikhawatirkan anak akan nakal dan suka menggigit jika besar.
6. Gurita dipantang sebab bersifat lembek diasosiasikan dengan bayi yang juga akan lemah fisiknya seperti gurita.
7. Kepiting dan udang yang baru ganti kulit dipantang sebab bertekstur lembek dan tidak bertulang diasosiasikan dengan anak yang juga akan lemah tak bertulang jika lahir.
8. Ikan pari dipantang karena memiliki tulang lembut dipercayai akan menyebabkan bayi juga bertulang lembut,
9. Mangga macan, durian, nenas, dan nangka dipantang karena dianggap bersifat panas dikaitkan dengan keyakinan dikotomi panas dingin. Ibu hamil dianggap dalam kondisi dingin sehingga tidak boleh makan makanan yang sifatnya panas sebab dapat menyebabkan keguguran kandungan pada umur kehamilan muda.
10. Kelapa muda dipantang pada awal kehamilan karena dapat mengakibatkan keguguran.
11. Rebung dipantang karena dikhawatirkan akan menyebabkan anak memiliki banyak bulu/rambut jika lahir.
12. Pisang kembar dipantang diasosiasikan anak juga akan kembar jika lahir.
13. Daun kelor dipantang karena mengandung getah yang pedis yang akan menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran dikenal dengan sebutan “getah kelor”, juga karena daun kelor yang berakar diasosiasikan dengan ari-ari bayi yang juga akan berakar.
14. Nangka muda dipantang karena juga memiliki getah yang akan menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran.
15. Pepaya muda dipantang karena dapat menyebabkan gatal-gatal pada ibu hamil dan bayi yang ada didalam kandungan.
16. Terong dipantang karena juga dapat mengakibatkan gatal-gatal pada ibu dan bayinya.
17. Tebu dipantang karena akan menyebabkan rasa sakit karena ibu akan mengeluarkan banyak air mendahului proses kelahiran diasosiasikan dengan tebu yang juga mengandung banyak air.
Wah wah pantangan dan anjuran ini mungkin hanya sebagian dari banyaknya kepercayaan sejenis yang beredar di masyarakat,. Sekilas banyak yang tidak masuk akal; apa hubungannya mengkonsumsi daun kelor dengan ari-ari yang berakar? Atau rebung dengan bulu lebat? Atau pisang kembar dengan bayi kembar?  Seharusnya ibu yang sedang hamil terpenuhi kecukupan gizinya untuk kepentingan dirinya sendiri dan janin yang sedang dikandungnya., bisa jadi Ibu hamil yang masih secara konsisten berpantang makan akan kekurangan zat makanan tertentu misalnya zat besi (Fe) yang akan berdampak pada anemia.., ups jika sudah begini sudah perlu perhatian serius dong., anemia kan berdampak buruk pada kehamilan ibu., so buat para ibu hamil bila menemukan anjuran dan pantangan demikian, baiknya berkonsultasilah pada dokter Anda tentang makanan-makanan tadi serta hubungannya dengan kehamilan., setuju ibu-ibu?! :)

Senin, 02 Mei 2011

Jumpa Teman Lama...

Hari itu pulang kesorean setelah mengikuti ujian di kampus, aku berjalan santai menuju rumah dengan membawa sekantong makanan buah tangan seminar proposal hari ini…diperempatan jalan, melewati sebuah tong sampah aku tertegun menyaksikan seraut wajah yang rasanya begitu familiar, seorang perempuan muda duduk disamping tong sampah sambil menggenggam sesuatu yang aku juga tak tahu apa itu…

Mata kami bertemu, sambil tersenyum bibir ini berkata “rasanya kok kenal..”, dia menjawab tanpa ekspresi “memang…” tapi tak bergeming sama sekali dari tempat duduknya bahkan semakin asyik memainkan benda yang ada digenggaman tangannya yang ternyata sisa-sisa puntung rokok.. wah ternyata feeling ku bener sy tau perempuan ini, tapi memory ini belum bisa mengingat dengan jelas siapa dia.. sampai saat berada sangat dekat dengannya dia tetap sibuk dengan mainan ditangannya seakan tak menyadari kehadiranku…Penasaran sy kembali bertanya “kita kenal dimana yah.. siapa namanya?”, dia menjawab “teman SMP, sy Narti”…MasyaAllah..memori ini terputar 13 tahun yang lalu hampir setiap hari sy bertemu dengannya…yah..betul betul sekali dia adalah narti teman SMPku dulu..teman bermain masa itu..

Yaa Allah…apa yang terjadi dengan temanku ini..sosoknya yang lincah, ceria, bergaya modis di masa itu berkelebat seketika di kepalaku..knp dia bisa jadi begini?! kulit putihnya jadi coklat terbakar mentari, hampir sebagian besar tubuhnya dipenuhi ruam2 tanda penyakit kulit, bajunya kumal kotor menandakan jarang diganti, hanya rambut pendeknya saja yang masih seperti dulu…Narti…hilang semua bayangan keceriaan dan tawamu di masa itu dengan melihat sosok yang ada didepanku ini..

Kami terdiam beberapa saat..aku mengajaknya beranjak dari tempat itu menuju sebuah warung yang berada tak jauh dari sana, setibanya diwarung dia berkata “sy mau beli mie instant tapi tak punya uang..” dia mengucapkannya sambil tertunduk..”oh iya nanti saya belikan..” jawabku…sy membelikannya mie instant pilihannya..dia bergegas mengambil mie instant tersebut dari tanganku dan bergegas ingin segera pergi dariku..”eh narti tunggu dulu..ambillah kantong ini, untuk mengisi mie itu…” sy menyodorkannya sekantong makanan yang tadi ada ditanganku, dia mengambilnya dengan cepat dan meyimpan mie instant yang ada ditangannya ke dalam kantong tersebut..”terima kasih nah..sy mau pulangmi makan ini mie..” katanya sambil berlalu dengan cepat…

Suara ini tercekat tak bisa berkata apa-apa, yang bisa terucap secara perlahan hanyalah “ya..narti sm2..hati..hati!” rasanya kaget bertemu dengan narti dengan kondisi seperti itu..oh iya sampai akan berpamitanpun puntung rokok ditangannya masih tak dibuangnya…Hari yang tak terlupakan..jika mengingat hari itu ada rasa menyesal knp tak mengajaknya bercerita tentang dirinya..knp tak terfikir untuk menanyakan dimana bisa menemuinya lagi…rasanya tak percaya tapi nyata…alangkah banyaknya orang yang tak beruntung di dunia ini…melihat sosok2 mereka masih pantaskah kita mengeluh dengan apa yang kita peroleh hari ini?! nikmat kesehatan, kehidupan yang layak, keluarga yang lengkap, kesempatan sekolah, rasanya terlalu banyak yang harus disyukuri..sudah bersyukur untuk hari ini?! semoga sudah…

Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menentukan jumlahnya (menghitungnya)…”(QS. An Nahl:18)

Subhanallah…

Minggu, 01 Mei 2011

Belajar dari Pernikahan Teman:)

Hari ini dapat pelajaran berharga saat menghadiri pernikahan teman yang sebelumnya ga nyangka akan secepat itu menemukan pasangan jiwanya..jodoh itu memang misteri, 3 hari yang lalu kaget membaca sebuah sms: "ka..sy mengundang kk untuk menghadiri acara walimahan saya pada tanggal 1 mei 2011" .

keesokan harinya saya bertemu dengannya di mesjid kampus, saya bertanya "kok tega bgt de, knp sy ga diinfokan klo mau menikah.." saya merasa sangat dekat dengan adik ini makanya heran jika dia menikah sangat mendadak seperti itu (maksud saya tidak menginfokan ke saya sebelumnya)..wah ternyata dia juga baru dilamar seminggu yang lalu dan minggu ini sudah akan melaksanakan pernikahannya..

Subhanallah..begitu mudahnya jika jodoh itu sudah terbuka...

Saya jadi teringat dengan dengan kisah sepupu saya yang sejak pertengahan tahun lalu sudah merencanakan pernikahan di awal tahun ini, tanggal sudah ditentukan, pakaian seragam sudah disiapkan, segala sesuatu sudah direncanakan..Tapi siapa yang menyangka 20 hari sebelum hari H pernikahan di batalkan hanya karena masalah sepele (itu menurut saya), jadi memang tak ada yang perlu dikhawatirkan jika jodoh belum datang:) Rasulullah berkata: "Bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal dunia sebelum rezkinya disempurnakan" (HR.IbnMajah). Bukankah jodoh itu juga bagian dari rezki?! Jadi.., yang dibutuhkan hanyalah kesabaran dan keikhlasan..dia akan datang jika Allah telah menggerakkannya..semua akan indah pada waktunya..InsyaAllah...:)

Tapi., sebenarnya bukan itu inti cerita saya hari ini...saya hanya terkesan dengan peristiwa di pesta pernikahan tadi... setahu saya sang pengantin perempuan pernah berkata dia tak ingin punya banyak uang jika hal itu akan menghalanginya ke Surga..prinsip yang "sangat langka" dijaman matrealistis hari ini, saat dimana sebagian orang menjadikan harta sebagai ukuran kebahagiaan,..Maha Suci Engkau Yaa Allah.. masih ada wanita se-qona'ah itu...cerita pun bergulir dan ternyata sang pengantin pria pun dalam mencari teman sejati pendamping hidup hanya mensyaratkan satu hal..cukup dengan keistiqomahannya..yang lain tidak penting..Subhanallah..

Allah mempertemukan mereka semata-mata karena cinta pada-Nya., wajar jika prosesi pernikahan sangat mudah..tanpa embel2 uang pa'naik, tanpa embel-embel adat dan segala persyaratan lain yang biasanya dikampung kami menyulitkan proses "lamaran hingga pernikahan"..mereka ada untuk Allah..dan semoga selamanya seperti itu...Barakallahu lak wabaraka'alaik wajama'a bainakuma fii khair...

Selamat berbahagia adikku..smg pernikahanmu membawa keberkahan menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah...Amin..

Senin, 14 Maret 2011

Minggu, 13 Maret 2011

Kamis, 03 Maret 2011

FGD dalam Penelitian Kualitatif

Salah satu metode pengumpulan informasi dalam penelitian kualitatif adalah Focus Group Discussion (FGD). FGD merupakan suatu forum yang dibentuk untuk saling membagi informasi dan pengalaman diantara para peserta diskusi dalam satu kelompok untuk membahas satu masalah khusus yang telah terdefinisikan sebelumnya, dalam pelaksanaannya FGD dipimpin oleh seorang moderator dan dibantu oleh sekretaris. biasanya tata cara pengumpulan informasi menggunakan prinsip round table, yaitu:

1. Moderator membuka acara FGD, memperkenalkan diri diikuti oleh sekretaris, meminta peserta berurutan memperkenalkan diri (nama dan status) dilanjutkan dengan penjelasan singkat tentang tujuan FGD, meminta izin jika menggunakan alat rekaman dan menjamin bahwa rekaman hanya untuk peneliti dan partisipasi pendapat peserta.
2. Setiap orang secara berurutan disorong dan diminta pendapat tentang topik yang sedang dibahas.
3. Bila terdapat peserta yang berkecenderungan untuk menguasai pembicaraan dalam setiap topik, moderator harus dapat menghentikan dengan cara memberikan perhatian kepada peserta lain yang bermaksud berbicara.
4. Sebaliknya bagi peserta yang statis berpendapat terus didorong untuk mengemukakan pendapat.
5. Moderator harus menggunakan waktu secara konsisten selama 1 sampai 2 jam dan terfokus hanya pada topik dan pertanyaan
6. Moderator harus tetap menggunakan prinsip ‘keadilan’ dan ‘ketidaktahuan’ karena ingin belajar dari masyarakat. Bila moderator lalai dapat diingatkan oleh sekretaris.
7. Sekretaris selain bertugas mencatat hasil secara lengkap, melakukan konfirmasi bila pembicaraan peserta tidak dimengerti, serta bertugas mengingatkan bila moderator lalai melaksanakan tugas sebagai lalu lintas diskusi.
8. Selain itu sekretaris juga harus mencatat keadaan dan kondisi sewaktu pelaksanaan FGD berlangsung. Pelaksanaan FGD yang menggunakan alat rekam, hasil diskusi selain direkam, sekretaris juga mempunyai tugas dan kewajiban membuat catatan detail hasil diskusi. Hasil diskusi harus ditulis secara detail berdasarkan topik secara berurutan.

Demikianlah catatan penting FGD dalam pelaksanaan penelitian kualitatif, semoga bermanfaat:)

Selasa, 22 Februari 2011

Pencarian Pelayanan Kesehatan (Part II)

Seluruh proses dalam mencari pelayanan kesehatan mencakup perangkat konsultan potensial, mulai pada batas-batas keluarga yang informal dan dekat melalui orang awam yang terseleksi, lebih jauh dan lebih mempunyai otoritas sampai pada tingkat profesional. Hal ini disebut sebagai sistem rujukan awam (hierarchy of resort) yang meliputi tiga sektor yaitu : sektor awam, sektor tradisional dan sektor profesional.

a. Sektor Awam atau Sektor Populer.
Pada sektor inilah pertama kali kesakitan dikenali dan ditentukan. Hal ini melibatkan keluarga, teman, dan tetangga. Perangkat informal inilah yang mungkin bisa membantu menafsirkan sebuah gejala, memberi nasehat bagaimana cara mencari bantuan medis. Sekitar 70 % - 90 % kesakitan maupun gangguan lain tidak pernah masuk sektor tradisional atau sektor profesional, tetapi bisa terdiagnosa dan diobati oleh orang awam. Keyakinan awam tentang kesehatan dan kesakitan, lebih spesifik mengenai etiologi akan mempengaruhi perilaku mencari bantuan. Keyakinan awam adalah suatu konsep yang sangat umum yang mengacu pada setiap keyakinan yang berkaitan dengan kesehatan dan kesakitan.

b. Sektor Tradisional
Sektor ini menempati posisi tengah antara sektor awam dengan sektor profesional. Di Indonesia dukun termasuk dalam kelompok tradisional. Tenaga-tenaga pengobat tradisional biasanya merupakan warga yang sangat dihormati dalam masyarakat mereka. Pengetahuan mereka berbeda dengan pengetahuan dokter, tetapi hal ini sama sekali tidak berarti pengetahuannya kurang penting. Tenaga-tenaga pengobat tradisional dihormati sebagai dukun-dukun tradisional. Pencaharian pertolongan perawatan kesehatan ibu hamil kepada pengobatan tradisional ini dilakukan oleh dukun beranak. Salah satu tujuan dari perawatan kehamilan adalah untuk memperoleh keselamatan. Penelitian yang dilakukan oleh Bahar (2010) pada Kecamatan Abeli Kota Kendari menunjukkan bahwa kebiasaan memeriksakan kehamilan pada dukun sudah menjadi tradisi yang berlaku secara turun-temurun dengan didasari akan kepercayaan akan tindakan dan kemampuan dukun dan kepuasan pelayanan dapat mereka rasakan jika sudah melakukan pemeriksaan kehamilan pada dukun.

c. Sektor Profesional
Para profesional kesehatan dari organisasi-organisasi profesi di bidang penyembuhan yang resmi seperti dokter, perawat, dan bidan. Pelaksanaan sistem rujukan awam dalam pencaharian pelayanan kesehatan adalah merupakan pencaharian pelayanan kesehatan secara berjenjang. Namun, dalam pelaksanaannya sering dilaksanakan secara simultan dan serentak dilakukan pencarian pelayanan kesehatan kepada sumber-sumber pemberi pelayanan.

Foster dan Anderson menyebutkan lima tahap di dalam proses menuju pemanfaatan pelayanan medis yaitu :
1. Keputusan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
2. Keputusan bahwa seseorang sakit dan membutuhkan perawatan profesional.
3. Keputusan untuk mencari perawatan medis.
4. Keputusan untuk mengalihkan pengawasan kepada dokter dan menerima serta mengikuti pengobatan yang ditetapkan.
5. Keputusan untuk mengakhiri peranan pasien.
Banyak faktor yang mempengaruhi ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan yang tidak terlepas dari perilaku kesehatan. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2005) mengemukakan bahwa perilaku masyarakat dalam program kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, faktor penentu (Predisposing Factors) terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku, yang termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap, nilai, dan kepercayaan. Kedua faktor pemungkin (Enabling Factors) suatu motivasi terlaksana, termasuk didalamnya keterampilan, sumberdaya peribadi dan sumber daya komuniti. Ketiga, faktor penguat (Reinforcing Factors) adanya pemberian ganjaran, reward, dan insentif untuk manfaat sosial.

Daftar Bacaan :

Bahar Hartati, 2010, Peran Aspek Sosial Budaya Pada Kejadian Anemia (Studi Kasus Pada Masyarakat Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari, PPS Unhas, Makassar.
Foster dan Anderson, 1986, Antropologi Kesehatan, UI Press, Jakarta
Irwan Zaki, 2003, Perilaku Ibu Hamil Etnis Mandar Terhadap Kejadian Anemia di Kabupaten Majene, PPS Unhas, Makassar.
Machfoedz I dan Suryani E, 2008, Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan, Fitramaya, Yogyakarta
Muzaham Fauzi, 1995, Sosiologi Kesehatan, UI Press, Jakarta
Notoatmodjo Soekidjo, 2005, Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo Soekidjo, 2007, Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta.
Smet Bart, 1994, Psikologi Kesehatan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta

Pencarian Pelayanan Kesehatan (Part I)

Rendahnya utilisasi (penggunaan) fasilitas kesehatan, penyebabnya sering dilemparkan kepada jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat terlalu jauh (baik fisik maupun secara sosial), tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan dan sebagainya. Kita sering melupakan faktor persepsi atau konsep masyarakat itu sendiri tentang sakit. Pada kenyataannya, didalam masyarakat itu sendiri terdapat beraneka ragam konsep sehat sakit yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan konsep sehat sakit yang diberikan oleh provider. Perbedaan tersebut disebabkan karena persepsi sakit yang berbeda antara masyarakat dengan provider (Notoatmodjo, 2007).

Suchman dalam Muzaham (1995) memberikan sekuensi peristiwa medis atas 5 tingkat yaitu :
1. Pengalaman dengan gejala penyakit. Pada tahap ini individu memutuskan bahwa dirinya dalam keadaan sakit yang ditandai dengan rasa tidak enak dan keadaan itu dianggap membahayakan dirinya.
2. Penilaian terhadap peran sakit. Karena merasa sakit dan memerlukan pengobatan, individu mulai mencari pengakuan dari kelompok acuannya (keluarga, tetangga, teman sekerja) tentang sakitnya itu.
3. Kontak terhadap perawatan medis. Disini, individu mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai pengalamannya atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu dengan sendirinya didasari atas kepercayaan dan keyakinan akan kemanjuran sarana tersebut.
4. Jadi pasien, individu memutuskan bahwa dirinya sebagai orang yang sakit dan ingin disembuhkan, harus menggantungkan diri dan pasrah kepada prosedur pengobatan. Dia harus mematuhi perintah orang yang akan menyembuhkan agar kesembuhan itu cepat tercapai.
5. Sembuh atau masa rehabilitasi. Pada saat si sakit memutuskan untuk melepaskan diri dari peranan sebagai orang sakit. Hal ini terjadi karena ia sudah sehat kembali dan berfungsi sebagai sedia kala.

Young membuat model perilaku tentang ”pilihan berobat”, di mana adaptasi lintas budaya yang terdapat dalam model kepercayaan kesehatan (health belief model) digunakan untuk menjelaskan pengambilan keputusan tentang pengobatan. Rumusan Young meliputi empat unsur utama :
1. Daya tarik (gravity), yaitu tingkat keparahan yang dirasakan oleh kelompok referensi individu (anggapan bahwa hal itu ada sebelum jatuh sakit, yakni kesamaan pendapat dalam kelompok tentang berat ringannya tingkat keparahan dari berbagai jenis penyakit).
2. Pengetahuan tentang cara-cara penyembuhan populer (home remedy), yang bersumber pada sistem rujukan awam (yaitu jika cara pengobatan tidak diketahui, atau setelah dicoba ternyata tidak efektif, maka individu akan beralih pada sistem rujukan profesional).
3. Kepercayaan (faith), atau tingkat kepercayaan terhadap keberhasilan dari berbagai pilihan pengobatan (terutama dari penyembuhan tradisional).
4. Kemudahan (accessibility), meliputi biaya dan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan.

Kemudian menurut Notoatmodjo (2007) respon seseorang apabila sakit dapat dikategorikan dalam beberapa bagian :
Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action), alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya.
Kedua, tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama dengan yang pertama tetapi ditambah dengan kepercayaan terhadap diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasar pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencaharian pengobatan keluar tidak diperlukan.
Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy). Untuk masyarakat tertentu pengobatan traditional masih menduduki tempat teratas dibanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Dukun (bermacam-macam dukun) yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian dari masyarakat, berada ditengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat daripada dokter, mantri, bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka, seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obat-obatnya pun merupakan kebudayaan mereka.
Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat-obat yang digunakan pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.
Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah dan lembaga swasta yang dikelompokkan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
Keenam, adalah mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktik (private medicine).

next...(Part II)

Daftar Bacaan :
Irwan Zaki, 2003, Perilaku Ibu Hamil Etnis Mandar Terhadap Kejadian Anemia di Kabupaten Majene, PPS Unhas, Makassar.
Machfoedz I dan Suryani E, 2008, Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan, Fitramaya, Yogyakarta
Muzaham Fauzi, 1995, Sosiologi Kesehatan, UI Press, Jakarta
Notoatmodjo Soekidjo, 2005, Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo Soekidjo, 2007, Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta.
Smet Bart, 1994, Psikologi Kesehatan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta

Senin, 21 Februari 2011

Hubungan Aspek Sosial Budaya Dan Kesehatan

Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Menurut E.B Tylor mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak (Soekanto, 2006).

Setiap manusia mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Koentjaraningrat (2005) mengemukakan bahwa kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu : wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan-peraturan, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Goodenough dalam Dumatubun (2002) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”, merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat, dan digunakan sebagai pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain.

Manusia dalam menghadapi lingkungan senantiasa menggunakan berbagai model tingkah laku yang selektif (selected behaviour) sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Pola perilaku tersebut didasarkan pada sistem kebudayaan yang diperoleh dan dikembangkan serta diwariskan secara turun temurun.

Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan budaya bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya untuk digunakan, dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang.

Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga, teman sepermainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).

Dalam melakukan tindakan pada suatu interaksi sosial, seseorang dipandu nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut adalah prinsip-prinsip yang berlaku pada suatu masyarakat tentang apa yang baik, apa yang benar dan apa yang berharga yang harusnya dimiliki dan dicapai oleh warga masyarakat. Sistem nilai mencakup konsep-konsep abstrak tentang apa yang dianggap baik, dan apa yang dianggap buruk dan itulah sesungguhnya inti dari suatu kebudayaan (Badrujaman, 2008).

Nilai sebagai keyakinan yang pantas dan benar bagi diri dan orang lain dalam lingkungan kebudayaan tertentu diharapkan dijalankan bagi semua warganya termasuk generasi selanjutnya. Pandangan tentang pengertian nilai menurut Bambang Daroeso, nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang (Herimanto dan Winarno, 2008). Perwujudan dari nilai yang bersifat abstrak menjadi suatu pola perilaku senyatanya dan perilaku dibenarkan, disebut norma (norm), norma sebagai perilaku nyata (empirik) yang bersifat objektif, dapat diamati, dan telah terpolakan dalam masyarakat. Norma merupakan tatanan yang menuntut individu harus berperilaku tertentu (Polak, 1991; Giddens, 1995, Hamzah, 2000).

Khusus dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan pula struktur normatif atau menurut istilah Ralp Linton designs for living (garis-garis atau petunjuk dalam hidup). Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku atau blue print of behaviour yang merupakan peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang, dan lain sebagainya.

Konsep sehat dilihat dari segi sosial, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang melingkupi individu tersebut. Untuk sebuah kesehatan masyarakat menciptakan sebuah strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit. Strategi yang memaksa manusia untuk menaruh perhatian utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usahanya untuk menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan “suatu kompleks luas dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, idiologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu (Anderson, 1980, dalam Badrujaman, 2008).

Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat, yang diwujudkan dalam sistem sosial. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan kebudayaan masing-masing (Dumatubun, 2002). Selain dengan pengamalan perilaku dalam konteks budaya, pengamalan perilaku setiap individu sangat erat kaitannya dengan “belief, kepercayaan” sebagai bagian nilai budaya masyarakat bersangkutan (Ngatimin, 2005)

Nilai-nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi manusia dan masyarakat penganutnya. Didalamnya tercakup segala sesuatu yang mengatur hidup mereka termasuk tatacara mencari pengobatan bila sakit. Kekurangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan disertai pengalaman hidup sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya membuat mereka mencari pemecahan timbulnya penyakit, penyebaran dan cara pengobatan menuju ke arah percaya akan adanya pengaruh roh halus dan tahyul.

Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit (Kalangi, 1994). Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya.

Daftar Bacaan :

Badrujaman Aip, 2008, Sosiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Trans Info Media, Jakarta
Dumatubun, A E, 2002, Kebudayaan Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif Antropologi Kesehatan, Jurnal Antropologi Papua Vol 1 No.1.
Hamzah Asiah, 2000. Pola Asuh Anak pada Etnik Mandar, Studi Budaya Lokal Dengan Pendekatan Etnometodologi, Interaksi Simbolik, Dan Analogi Model Kasper Pada Pengasuhan Anak, Disertasi, 2000
Herimanto dan Winarno, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta.
Kalangi Nico S, 2004, Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosial Budaya, Megapoin, Jakarta.
Koentjaraningrat, 2005, Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, Jakarta
Ngatimin Rusli, 2005, Ilmu Perilaku Kesehatan, Yayasan PK-3, Makassar.
Soekanto Soerjono, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Minggu, 20 Februari 2011

Anemia Defisiensi Besi

Anemia adalah salah satu keadaan dengan kadar Hb yang rendah dari nilai normal. Anemia bisa juga berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran atau jumlah eritrosit kandungan hemoglobin. Batas normal kadar Hb pada wanita dewasa berkisar antara 12 gr%, pada ibu hamil kadar Hb senilai 11 gr% masih dianggap normal. Sedangkan apabila kadarnya kurang dari 11gr% dinyatakan anemia.

Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat, dan atau vitamin B12, yang semuanya berakar pada asupan yang tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk), dan kecacingan yang masih tinggi. Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan, sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (Arisman, 2004).

Anemia merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan ibu apabila disertai perdarahan saat kehamilan, persalinan dan pasca salin. Anemia dalam kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan nifas. Pengaruh anemia saat kehamilan dapat berupa abortus, persalinan kurang bulan, dan ketuban pecah sebelum waktunya. Pengaruh anemia saat persalinan dapat berupa partus lama, gangguan his dan kekuatan mengedan serta kala uri memanjang sehingga dapat terjadi retensio plasenta. (Manuaba, 1998).

Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin sehingga disebut anemia defisiensi besi. Kekurangan besi di dalam tubuh tersebut disebabkan karena kekurangan konsumsi zat besi yang berasal dari makanan atau rendahnya absorbsi zat besi yang ada dalam makanan. Kekurangan besi karena kondisi fisiologis, seperti tingginya kebutuhan zat besi selama hamil, kehilangan darah karena kecelakaan, pasca bedah, menstruasi, atau penyakit kronis dan infeksi (Wirakusumah, 1999 dalam Sahruni 2007).

Anemia pada ibu hamil meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan, keguguran, angka prematuritas, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), kematian neonatal, kematian perinatal hingga risiko kematian maternal. Di samping itu, perdarahan lebih sering dijumpai pada wanita yang anemia dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemia tidak dapat mentolerir kehilangan darah, ibu hamil yang menderita anemia juga dapat mengalami kegagalan jantung yang dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan dampak sosial ekonomi akibat anemia adalah penurunan produktifitas. Apabila ibu hamil dapat melahirkan bayi dengan selamat maka bayi tersebut cenderung memiliki perkembangan kecerdasan lebih rendah bila dibandingkan anak-anak lain yang normal.

Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi menurut umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4000 mg, dengan sekitar 2500 mg ada dalam hemoglobin. Di dalam tubuh sebagian zat besi (sekitar 1.000 mg) disimpan di hati berbentuk ferritin. Saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, zat besi dari ferritin dikerahkan untuk memperoleh Hb. Jumlah zat besi yang harus diserap tubuh setiap hari hanya 1 mg atau setara dengan 10-20 mg zat besi yang terkandung dalam makanan. Zat besi pada pangan hewani lebih tinggi penyerapannya yaitu 20-30%, sedangkan dari sumber nabati hanya 1-6% (Arief, 2008).

Kebutuhan zat besi pada setiap trimester kehamilan berbeda-beda. Pada trimester pertama, kebutuhan besi justru lebih rendah dari masa sebelum hamil. Ini disebabkan wanita hamil tidak mengalami menstruasi dan janin yang dikandung belum membutuhkan banyak zat besi. Menjelang trimester kedua, kebutuhan zat besi mulai meningkat. Pada saat ini terjadi penambahan jumlah sel-sel darah merah yang akan terus berlanjut sampai trimester ketiga. Jumlah sel darah merah yang bertambah mencapai 35%, seiring dengan meningkatnya kebutuhan zat besi sebanyak 450 mg. Pertambahan sel darah merah disebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen dari janin. Kosentrasi hemoglobin menurun selama trimester kedua sampai mencapai rata-rata 1 gr/dl. Anemia fisiologis penyebabnya adalah volume plasma yang meningkat jauh diatas peningkatan jumlah sel darah merah.

Kebutuhan zat besi tiap semester sebagai berikut:
Trimester I : Kebutuhan zat besi ± 1 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah 30-40 mg untuk kebutuhan janin dan sel darah merah.
Trimester II : Kebutuhan zat besi ± 5 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah kebutuhan sel darah merah 300 mg dan conceptus 115 mg.
Trimester III : Kebutuhan zat besi ± 5 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah kebutuhan sel darah merah 150 mg dan conceptus 223 mg.
Menurut WHO, anemia pada ibu hamil diklasifikasikan berdasarkan kadar Hb ibu hamil jadi tiga kategori sebagai berikut :
a. Normal, >11 gr%
b. Anemia ringan, 8-10 gr%
c. Anemia berat, <8 gr%.

Penyebab timbulnya anemia pada seseorang , ada 3 faktor penting yaitu kehilangan darah karena perdarahan, pengrusakan sel darah merah dan produksi sel darah merah yang tidak cukup banyak. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa penyebab utama timbulnya anemia adalah karena kurangnya zat besi yang diperberat oleh rendahnya konsumsi vitamin C. Menurut Gibney (2004) dalam Hadju (2008) terdapat empat pendekatan utama dalam pencegahan dan pengendalian anemia defisiensi zat besi yaitu 1) menyediakan suplemen zat besi, 2) fortifikasi zat besi dalam makanan yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat, 3) pendidikan gizi, dan 4) pendekatan berbasis holtikultur untuk memperbaiki biovailabilitas zat besi dari makanan.

Daftar Bacaan :


Arief Nurhaeni, 2008, Kehamilan dan Kelahiran Sehat, Dian Loka, Yogyakarta.

Astawan Made, 2009, Ensiklopedia Gizi Pangan Untuk Keluarga, Dian Rakyat, Jakarta.

Arisman, 2204, Gizi dalam Daur Kehidupan, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.

Curtis, B Glade, 2008, Panduan Lengkap Kehamilan Anda dari Minggu ke Minggu , Golden Books, Yogyakarta.

Manuaba Ida Bagus, 1998, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.

Rabu, 16 Februari 2011

Tinjauan Wilayah Pesisir


Beberapa penelitian yang di share di blog ini dilakukan di wilayah pesisir. Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Henny, 2003).

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Wiyana, 2004).

Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran pengaruh antara darat, laut dan udara (iklim). Wilayah pesisir khusunya perairan estuaria mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan di laut. Namun demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di luar normal. Menurut fungsinya, wilayah pesisir merupakan zone penyangga (buffer zone) bagi hewan-hewan migrasi. Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati adalah ekosistem litoral (pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, dan pantai lumpur), hutan payau, vegetasi terna rawa payau, hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut (Henny, 2003).

Ciri-ciri Wilayah Pesisir
a. Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat.
b. Tempat dimana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan merupakan tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai jenis spesies organisme perairan.
c. Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, muara sungai, lamun dan sebagainya yang merupakan pelindung alam yang penting dari erosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut.
d. Sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, dan tempat berlibur atau rekreasi.

Pendapat Scura et al (1998) dalam Satria (2009) mengenai wilayah pesisir adalah daerah yang mewakili antara pertemuan daratan dan laut, tetapi kepedulian dan minat diarahkan pada wilayah dimana aktifitas manusia saling keterkaitan dengan daratan dan lingkungan laut, dan wilayah pesisir mempunyai karakteristik, yaitu:
a. Memiliki habitat dan ekosisitem (seperti estuaria, terumbu karang, padang lamun), yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, mineral) dan jasa (seperti bentuk perlindungan alam dari badai, arus pasang surut, rekreasi) untuk masyarakat pesisir.
b. Dicirikan persaingan untuk sumber daya daratan, lautan dan ruang oleh berbagai stakeholder, seringkali menimbulkan konflik besar dan menurunkan fungsi terpadu dari sistem sumber daya.
c. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat mengalihkan Gross National Product (GNP) terhadap kegiatan seperti pembangunan perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata pesisir dan lain-lain;
d. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan tempat yang baik untuk urbanisasi.

Konsep mengenai masyarakat pantai dapat didekati melalui upaya pemanfaatan sumber daya alam oleh penduduknya dan kompleksitas perwujudan budaya masyarakat. beberapa tipe desa-desa pantai melalui pendekatan pemanfaatan sumber daya alam, yaitu sebagai berikut :
1. Desa pantai tipe bahan makanan, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani sawah khususnya sawah padi.
2. Desa pantai tipe tanaman industri, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani tanaman industry terutama kelapa.
3. Desa pantai tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai penangkap ikan laut/pemeliharaan ikan darat.
4. Desa pantai niaga dan transportasi, yaitu desa-desa pantai yang sepanjang lahan dapat ditempati oleh perahu-perahu layar.
Sedangkan pendekatan kompleksitas perwujudan budaya masyarakat pantai sangat berkaitan dengan kultur laut yang mendapat pengaruh dari maritime great tradition. Adapun konsep pengertian masyarakat pesisir yang digunakan dalam studi ini adalah konsep masyarakat pesisir di perkotaan tipe nelayan dan petambak dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petambak dan nelayan (Razak, 2000).

Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Sastria, 2009).

Sumberdaya wilayah pesisir merupakan suatu sumberdaya alam yang kaya dan beragam, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Selain itu wilayah ini juga memiliki aksebilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi seperti transportasi, pelabuhan, industri, pemukiman, dan pariwisata. Akan tetapi jika pembangunan di wilayah pesisisr tidak ditata dengan baik dan tidak memperhatikan segenap aspek terkait, terutama aspek keseimbangan antara tingkat pembangunan dan daya dukung lingkungan serta keseimbangan pembangunan antar daerah, maka pembangunan tersebut tidak akan mencapai hasil yang oprtimal dan berkesinambungan.

Pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir sesuai dengan konsep yang ada harus dilakukan seecara terencana, rasional, bertanggungjawab sesuai dengan kemampuan da dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan hak tersebut, maka diperlukan strategi pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu dalam perencanaan, pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, evaluasi, serta pemulihan, pengembangan dan konservasi sumberdaya lingkungan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Wilayah pesisir perlu kiranya untuk dibahas karena beberapa hal :
a. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang mempunyai daya dukung yang sangat tinggi. Sebagai akibatnya wilayah ini merupakan tempat terkosentrasinya berbagai kegiatan manusia. Bukanlah secara kebetulan apabila banyak kota besar terletak di pesisir.
b. Akibat aktifitas manusia yang tinggi diwilayah ini dan akibat posisi geografisnya, maka wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan lingkungan.
c. Kerusakan wilayah pesisir akan berpengaruh terhadap sebahagian besar wilayah lainnya.
d. Dalam rangka globalisasi dan zaman informasi seperti saat ini wilayah pesisir merupakan wilayah yang semakin penting, sebagai pintu gerbang informasi, lalu lintas barang dan transportasi massal yang relatif murah. (Tosepu, 2010)

Jumat, 28 Januari 2011

Teori Dalam Penelitian Kualitatif (Part II)

Dalam penelitian kualitatif yang bersifat holistik, jumlah teori yang harus dimiliki peneliti kualitatif jauh lebih banyak di bandingkan penelitian kuantitatif karena harus disesuaikan dengan fenomena yang berkembang dilapangan. Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam. Walaupun peneliti kualitatif dituntut untuk menguasai teori yang luas dan mendalam, namun dalam melaksanakan penelitian, peneliti kualitatif harus mampu melepaskan teori yang dimiliki tersebut dan tidak digunakan sebagai panduan dalam menyusun instrument dan sebagai panduan dalam menyusun panduan untuk wawancara, dan observasi.

Peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Peneliti kualitatif harus bersifat “perspektif emic” artinya memperoleh data bukan “sebagai seharusnya”, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi dilapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh partisipan/sumber data.

Oleh karena itu penelitian kualitatif jauh lebih sulit dari penelitian kuantitatif, karena peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas sehingga mampu menjadi “human instrument” yang baik. Penelitian kualitatif jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian kuantitatif karena data yang terkumpul bersifat subyektif dan instrument sebagai alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri.

Untuk dapat menjadi instrument penelitian yang baik, peneliti kualitatif dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, baik wawasan teoritis maupun wawasan yang berkaitan dengan konteks sosial yang diteliti yang berupa nilai, budaya, keyakinan, hukum, adat-istiadat yang terjadi dan berkembang pada konteks sosial tersebut. Bila peneliti tidak memiliki wawasan yang luas, maka peneliti akan sulit membuka pertanyaan pada sumber data, sulit memahami apa yang terjadi, tidak akan mampu memahami analisis secara induktif terhadap data yang diperoleh, padahal pendekatan induktif memberikan panekanan pada pemahaman yang kompresif atau “holistik" mengenai situasi sosial yang ditelaah. Artinya, kehidupan sosial dipandang sebagai pelibatan serangkaian peristiwa yang saling berpautan, yang perlu untuk digambarkan secara lengkap oleh peneliti kualitatif.

Peneliti kualitatif dituntut mampu mengorganisasikan semua teori yang dibaca. Landasan teori yang dituliskan dalam proposal penelitian lebih berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh peneliti memiliki teori dan memahami permasalahan yang diteliti walaupun permasalahan tersebut masih bersifat sementara. Oleh karena itu landasan teori yang dikemukakan bukan merupakan harga mati, tetapi bersifat sementara. Peneliti kualitatif justru dituntut untuk melakukan “grounded research”, yaitu menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh dilapangan.

Setiap penelitian bermaksud untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan itu adakalanya berupa teori, yang merupakan penjelasan terhadap gejala-gejala, dan adakalanya berupa knowledge yang merupakan konsep-konsep atau pola-pola regulasi yang terdapat di alam ini. Selain itu, penelitian juga bermaksud untuk menemukan pengetahuan yang berupa strategi-strategi untuk pemecahan suatu masalah. Pada dasarnya penelitian kualitatif dapat digunakan untuk ketiga maksud tersebut.

Untuk menggali ragam pengetahuan yang disebut di atas, penelitian kualitatif mempunyai caranya sendiri, yang berbeda dari penelitian kuantitatif. Jika penelitian kuantitatif bertolak dari suatu teori dan kemudian bermaksud untuk mengujinya, maka dalam penelitian kualitatif tidak demikian halnya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertolak dari ketidaktahuan, artinya peneliti belum memiliki pengetahuan tentang obyek yang diteliti, termasuk jenis data dan kategori-kategori yang mungkin ditemukan. Karena itu, penelitian kualitatif tidak menggunakan teori yang sudah ada sebagai dasar pengembangan teoritiknya.

Ada dua bentuk perangkat yang digunakan dalam merancang kerangka konseptual sebagai panduan kerja dalam penelitian kualitatif. Kedua perangkat dimaksud adalah “paradigma alamiah” (naturalistic paradigm) dan pola pengembangan pengetahuan dalam “bidang ilmu” yang diteliti. Pada dasarnya kedua perangkat ini bersifat saling melengkapi, di mana paradigma alamiah mengarahkan kegiatan penelitian, dari mana dimulai dan ke mana arahnya, serta bagaimana cara atau proses kerjanya, sedangkan bidang ilmu mempertegas obyek material atau substansi yang layak diteliti. Pandangan mendasar yang menjadi asumsi paradigma alamiah adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada pola-pola interaksi atau perilaku tertentu yang terjadi secara ajeg. Jika peneliti dapat mendeteksi dan menemukan pola-pola itu, maka ia dapat menyusunnya menjadi suatu teori. Inilah yang dimaksudkan dalam grounded theory bahwa penelitian kualitatif merupakan satu upaya untuk membangun teori dari dasar. Jadi, teori itu sesungguhnya ditemukan dari masyarakat melalui penelitian yang sistematis. Oleh karena itu, penelitian kualitatif sama sekali tidak bermaksud untuk menguji teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan jika penelitian kualitatif dimulai dengan teori atau konsep/variabel yang digunakan teori sebelumnya, karena akan menghambat pengembangan rumusan teori baru.

Sejalan dengan asumsi di atas, peneliti kualitatif tidak membawa konsep-konsep yang diperoleh dari teori (yang sudah ada) ke lapangan, melainkan berusaha memahami dan memaknai fenomena sesuai dengan pemahaman dan pemaknaan yang diberikan oleh subyek yang diteliti. Ini sangat prinsip dalam penelitian kualitatif. Strategi ini disebut dengan pendekatan emik, yaitu suatu prinsip pemaknaan fenomena berdasarkan pemahaman "orang dalam", dengan menggunakan ukuran-ukuran yang ditemukan di lapangan. Dasar pijakan penelitian ini ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti. Bertolak dari prinsip paradigma alamiah, proses data kualitatif selalu menggunakan metode berpikir induktif. Prinsip pokok teknik analisa ini ialah mengolah dan menganalisa data menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna. Tujuan akhir penelitian kualitatif ialah menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan atau pembangunan suatu teori baru. Perangkat yang kedua adalah pola pengembangan ilmu sosial, yang pada mulanya metode-metode kualitatif muncul dari penelitian-penelitian antropologi, etnologi, serta aliran fenomenologi dan aliran idealisme. Karena metode-metode ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu sosial lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya.

Ada dua istilah yang sering dipakai dalam penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual. Istilah kerangka teoritis banyak dipakai dalam penelitian kuantitatif, tidak pada penelitian kualitatif, sedangkan istilah kerangka konseptual lebih tepat digunakan pada penelitian kualitatif. Dasar pertimbangannya adalah, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan deduksi logis dari suatu teori untuk perumusan hipotesis, sedangkan penelitian kualitatif lebih pada upaya pembentukan konsep-konsep dari data lapangan menuju pemahaman terhadap fenomena atau terbentuknya suatu teori.

Pada hakikatnya, kerangka konseptual adalah suatu rancangan yang dapat menegaskan tentang dimensi-dimensi kajian utama penelitian serta mengungkap tentang perkiraan hubungan-hubungan antara dimensi-dimensi tersebut. Atas dasar itu, kerangka konseptual merupakan panduan bagi peneliti dalam proses penelitiannya, baik memutuskan karakeristik data yang harus dikumpulkan, strategi dalam melakukan kategorisasi, maupun dalam penemuan relasi antara kategori.

Kapan waktu yang paling tepat melakukan perancangan kerangka konseptual dalam penelitian kualitatif? Ini menjadi diskusi yang tidak berujung di kalangan ahli kualitatif. Jika dilakukan dari awal, mungkin sekali membuat ketidakbebasan bagi peneliti untuk menemukan fenomena yang asli, karena pikirannya telah terfokus untuk memperhatikan hanya pada fokus khusus. Hal ini merupakan pengebirian karakter penelitian kualitatif. Tetapi jika kerangka konseptual dirancang belakangan, dapat mengakibatkan pengumpulan data serampangan dan bisa jadi menghadirkan data yang melimpah-ruah.

Diskusi yang tidak pernah selesai ini menjadi faktor munculnya berbagai pola perancangan kerangka konseptual di kalangan peneliti kualitatif. Ahli antropologi dan fenomenologi berpendapat, realitas sosial itu cukup kompleks, karena itu peta-peta konseptual yang konvensional akan menjadi kendala. Sebab, latar, fenomena-fenomena, dan pelaku-pelaku yang paling bermakna tidak akan dapat diramalkan sebelum penelitian lapangan. Jadi, kerangka konseptual seharusnya muncul secara empiris di lapangan sewaktu penelitian berjalan.

Tidak semua penelitian harus menghasilkan teori. Sebagian dari hasil penelitian itu tidak dimungkinkan untuk dilajutkan ke perumusan teori, dan karena itu harus dihentikan sampai pada penemuan formulasi-formulasi konseptual dan tema-tema budaya. Penelitian yang sampai pada penemuan tema-tema seperti itu juga cukup penting, sebab tema-tema yang memuat keterangan deskriptif itu dapat disusun secara sistematis ke dalam bentuk konsepsi -konsepsi dekriptif yang kaya dengan definisi, informasi, dan atau abstraksi dari gejala-gejala sosial. Atas dasar itu, seorang peneliti kualiatif tidak mesti memaksakan diri untuk menemukan “teori” dari kancah, bahkan ia dapat saja merancang sebuah penelitian yang hanya sampai pada penemuan tema-tema untuk disusun ke dalam pengetahuan deskriptif yang bersifat informatif.

Akhirnya, Perumusan teori dimulai dengan mereduksi jumlah kategori-kategori sekaligus memperbaiki rumusan dan integrasinya. Modifikasi rumusan semakin minimal, sekaligus isi data dapat terus semakin diperbanyak. Atribut terori yang tersusun dari hasil penafsiran/pemaknaan dilengkapi terus dengan data baru, dirumuskan kembali dalam arti diperluas cakupannya sekaligus dipersempit kategorinya. Jika hal itu sudah tercapai dan peneliti telah merasa yakin akan hasilnya, pada saat itu peneliti sudah dapat mempublikasikan hasil penelitiannya.


Daftar Bacaan :
Gempur Santoso, Fundamental Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Cetakan pertama: Juli 2005, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005.

Purwoko, Bambang, Penelitian Kualitatif, Bahan Kuliah S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gajah Mada, 2008.

Siregar, Parluhutan. Teori dan Kerangka Konseptual, http://google.or.id//teori dalam penelitian kualitatif.htm. di akses September 2008

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2006
Widoyoko, EP, Analisis Kualitatif Dalam Penelitian Sosial, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo, 2007.

Sedyaningsih, Endang R, Pengenalan Studi Kualitatif, Puslitbang Pemberantasan Penyakit, 2008.

Teori Dalam Penelitian Kualitatif (Part I)

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya, secara umum tujuan penelitian kualitatif adalah untuk “menemukan”. Menemukan berarti sebelumnya belum pernah ada atau belum diketahui. Bisa dikatakan bahwa pendekatan kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti, Kebenaran dari hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi. Hasil analisis penelitian kualitatif naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan maupun menemukan terori-teori sosial.

Dengan metode kualitatif, maka peneliti dapat menemukan pemahaman yang luas dan mendalam terhadap situasi sosial yang kompleks, memahami interaksi dalam situasi sosial tersebut sehingga dapat ditemukan hipotesis, pola hubungan yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi teori.

Teori adalah seperangkat dalil mengenai hubungan antara berbagai konsep. Dalam penelitian kualitatif, teori yang sudah ada memiliki kegunaan yang cukup penting, teori dalam penelitian kualitatif digunakan secara lebih longgar, teori memungkinkan dan membantu untuk memahami apa yang sudah diketahui secara intuitif pada saat pertama, tetapi bersifat jamak untuk berubah sebagaimana teori sosial berubah. Pada umumnya teori bagi penelitian kualitatif berguna sebagai sumber inspirasi dan pembanding.

Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh peneliti bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penelitian kualitatif juga bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau dalam konteks sosial. Dalam kaitannya dengan teori , penelitian kualitatif bersifat menemukan teori.

Posisi teori pada pendekatan kualitatif harus diletakkan sesuai dengan maksud penelitian yang dikerjakan. Pertama, untuk penelitian yang bermaksud menemukan teori dari dasar, paling tidak ada tiga aspek fungsi teori yang dapat dimanfatkan; (a) Konsep-konsep yang ditemukan pada teori terdahulu dapat "dipinjam" sementara (sampai ditemukan konsep yang sebenarnya dari kancah) untuk merumuskan masalah, membangun kerangka berpikir, dan menyusun bahan wawancara; (b) Ketika peneliti sudah menemukan kategori-kategori dari data yang dikumpulkan, ia perlu memeriksa apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya. Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang kategori tersebut. Hal ini dilakukan hanya untuk perbandingan saja, bukan untuk mengikutinya; dan (c) Proposisi teoritik yang ditemukan dalam penelitian kualitatif (yang memiliki hubungan dengan teori yang sudah dikenal) merupakan sumbangan baru untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan baru itu. Kedua, untuk penelitian yang bermaksud memperluas teori yang sudah ada, teori tersebut bermanfaat bagi peneliti pada tiga hal berikut; (a) Penelitian dapat dimulai dari teori terdahulu tersebut dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati data. Namun demikian, penelitian yang sekarang harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian dapat dengan bebas memilih data yang dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi; (b) Teori yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi pedoman dalam pengamatan/wawancara untuk mengumpul data awal; dan (c) Jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan teori yang ada.
(next to part II...)

Daftar Bacaan :
Gempur Santoso, Fundamental Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Cetakan pertama: Juli 2005, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005.
Purwoko, Bambang, Penelitian Kualitatif, Bahan Kuliah S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gajah Mada, 2008.
Siregar, Parluhutan. Teori dan Kerangka Konseptual, http://google.or.id//teori dalam penelitian kualitatif.htm. di akses September 2008
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2006
Widoyoko, EP, Analisis Kualitatif Dalam Penelitian Sosial, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo, 2007.
Sedyaningsih, Endang R, Pengenalan Studi Kualitatif, Puslitbang Pemberantasan Penyakit, 2008.

Rabu, 26 Januari 2011

Trend TFR, IMR, dan Migrasi Risen Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 1980-2010

Abstrak. Hartati Bahar. Trend TFR, IMR, dan Migrasi Risen Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 1980-2010

Perubahan jumlah penduduk pada suatu daerah dipengaruhi oleh tiga komponen demografi yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan migrasi. Peristiwa kelahiran merupakan faktor penambah jumlah penduduk dan kematian merupakan faktor pengurang jumlah penduduk, sedangkan migrasi merupakan faktor penambah jumlah penduduk jika tidak seimbang antar migrasi masuk dengan migrasi keluar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran trend dinamika kependudukan Provinsi Sulawesi Tenggara dari tahun 1980 hingga tahun 2000 serta proyeksinya hingga 2010, dengan menggunakan metode pengukuran Angka Fertilitas Total (TFR), Angka Kematian Bayi (IMR), dan Angka Migrasi Risen.
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan melihat trend tentang fertilitas, mortalitas, dan migrasi risen yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara dan melakukan analisis data sekunder dari data sensus, survei penduduk antar sensus, dan registrasi penduduk yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara periode 1980-2000 dan proyeksinya hingga 2010.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Angka Fertilitas Total pada tahun 1980-2010 memberikan gambaran yang menurun dan berdasarkan hasil proyeksinya hingga tahun 2010 tetap memberikan gambaran trend yang cenderung menurun. Untuk Angka Kematian Bayi juga menunjukkan trend yang menurun. Kemudian, untuk Angka Migrasi Risen menunjukkan trend yang berfluktuasi namun lebih menunjukkan trend yang cenderung untuk meningkat dari tahun 1980 hingga proyeksinya pada tahun 2010.

Kata Kunci : TFR, IMR, Migrasi Risen, Trend

Selasa, 18 Januari 2011

Kajian Budaya Terhadap Pola Makan

Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan adalah penting untuk memahami dampak kesehatan bagi bayi dan ibu sendiri.
Faktor sosial budaya memegang peranan penting dalam memahami sikap dan perilaku dalam menanggapi kehamilan, kelahiran, serta perawatan bayi dan ibunya. Pandangan budaya tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu sekalipun petugas kesehatan menemukan bentuk perilaku atau sikap yang terbukti kurang menguntungkan bagi kesehatan, seringkali tidak mudah bagi mereka untuk mengadakan perubahan terhadapnya (Pasaribu, 2005).
Masyarakat dimanapun di dunia ini mempunyai kategori tentang makanan yang didefinisikan secara budaya. Pada berbagai kebudayaan, kondisi hamil dianggap sebagai suatu kondisi khusus, yang bisa mendatangkan bahaya bagi diri ibu hamil atau bagi bayi dalam kandungan. Bahaya bisa dianggap datang dari berbagai lingkungan maupun dari berbagai situasi. Hal inilah yang mendorong timbulnya kepercayaan untuk memantau jenis-jenis makanan yang membahayakan kondisi ibu dan janinnya.
Permasalahan yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil untuk kesehatan ibu dan janin. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan seringkali membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak (Linda, 2004).
Pantangan atau taboo ialah suatu larangan untuk mengkonsumsi makanan tertentu karena terdapat ancaman bahaya terhadap barang siapa yang melanggarnya. Orang menganut sesuatu pantangan biasanya percaya bahwa bila pantangan itu dilanggar akan memberikan akibat kerugian yang dianggap sebagai suatu hukuman. Pada kenyataan hukuman ini tidak selalu terjadi bahkan seringkali tidak terjadi sama sekali. Pantangan atau taboo yang tidak berdasar agama/kepercayaan dapat kita hadapi menurut kategori:
a. Taboo yang jelas merugikan kondisi gizi dan kesehatan, sebaiknya diusahakan untuk mengurangi, bahkan kalau bisa dapat menghapusnya.
b. Taboo yang memang menguntungkan keadaan gizi dan kesehatan, diusahakan untuk memperkuat dan melestarikannya.
c. Taboo yang jelas pengaruhnya bagi kondisi gizi dan kesehatan dapat dibiarkan, diusahakan untuk memperkuatnya dan melestarikannya (Nurlinda, 2004)
Alasan-alasan dari perilaku memantang makanan bermacam-macam, ada yang didasarkan atas alasan agama, berdasarkan makna yang diberikan pada makanan itu, karena sifat keramatnya, ataupun alasan kesehatan dan keindahan tubuh sesuai konsep budaya masyarakat yang bersangkutan (Swasono, 1998 dalam Umar, 2009).
Penelitian yang dilakukan di Kalutara Srilanka yang menunjukkan bahwa mayoritas wanita hamil percaya bahwa konsumsi makanan tertentu selama kehamilan mungkin menyebabkan penyakit tertentu, Ballaga dan Kelawalla (sejenis ikan), daging sapi, nenas harus dihindari selama kehamilan sebab bersifat panas dan memanaskan badan hingga dapat menyebabkan keguguran (De Silva, 1996). Padahal berdasarkan fakta cukup seringnya masyarakat mengkonsumsi makanan sumber hewani yang kaya zat besi seperti daging dan ikan, dan jauh dari praktek kepercayaan akan makanan taboo bagi ibu hamil, sangat membantu suksesnya program penanggulangan anemia pada ibu hamil (Indriasari, 2005).
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan pendarahan yang banyak. Sementara itu disalah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makanannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah melahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantang makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena akan menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan (Wilko, 2009).
Seorang ibu yang sedang hamil seharusnya terpenuhi kecukupan gizinya untuk kepentingan dirinya sendiri dan janin yang sedang dikandungnya sehingga pantangan atau larangan dalam proses kehamilan sangat mempengaruhi kecukupan zat gizi pada ibu hamil.
Penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2003), menunjukkan selama masa kehamilan, wanita di Bogor Jabar jarang memeriksakan diri ke Puskesmas dengan alasan tidak ada keluhan, sangat erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat bahwa kehamilan adalah proses alamiah yang tidak perlu dirisaukan. Hasil Penelitian lain yang dilakukan oleh Hadju (2008) di 2 Kecamatan di Kabupaten Maros Sulsel menunjukkan bahwa pendidikan ibu, faktor kultural, serta dukungan masyarakat yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi kunjungan ibu ke petugas kesehatan.
Penelitian yang dilakukan di Thailand (Nigenda, 2004) menunjukkan bahwa terdapat larangan konsumsi makanan tertentu seperti telur karena ketakutan akan bayi yang akan dilahirkan berbau amis (bad smell). Penelitian lain yang dilakukan oleh Alwi dan Ratih (2004) di Papua menyatakan bahwa terdapat pantangan makanan (dietary taboos) pada wanita hamil seperti ikan menyebabkan Air susu Ibu amis dan beberapa jenis buah, nenas ketimun pisang yang dianggap dapat menurunkan libido wanita. Penelitian di Kab Gowa Sulsel menunjukkan sejumlah makanan yang dipantangi selama kehamilan memiliki makna tertentu. Nangka, durian, tape, diketahui berhawa panas sehingga apabila dikonsumsi dikhawatirkan akan menggugurkan janin, begitu juga dengan larangan mengkonsumsi cumi-cumi karena diyakini menyebabkan anak lahir akan kembar gurita dan kulitnya akan berwarna hitam sesuai cairan berwarna hitam yang dimiliki cumi-cumi (Nurlinda, 2004).
Selain makanan yang dipantang, terdapat pula makanan yang dianjurkan bagi ibu hamil, di Maluku Tengah kelapa muda boleh dimakan bahkan dianjurkan karena airnya dianggap baik untuk diminum agar kalau lahir nanti, bayinya menjadi bersih. Harus makan sayur-sayuran dalam porsi yang cukup banyak (Swasono dan Soselisa, 1998). Di Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara makanan yang dianjurkan adalah sayuran-sayuran tertentu, terutama daun-daunan yang berlendir dengan alasan akan dapat memperlancar kelahiran. Hal ini diasosiasikan dengan sifat licin dari lendir tersebut sehingga melicinkan proses kelahiran (Swasono dan Ulaen, 1998).
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Majene Sulsel menunjukkan bahwa makanan yang dianjurkan dimakan oleh ibu hamil hanya berasal dari golongan nabati dan hasil olahannya. Sayuran hijau daun dengan alasan kualitas anak akan baik dan kuat sejak dalam kandungan sampai lahir, minyak kelapa karena sifatnya yang licin memudahkan jalan lahir, juga air kelapa muda karena nampak bersih dan bening, diasosiasikan dengan anak akan cantik dan akan mempunyai kulit yang bersih setelah lahir (Irwan, 2003).
Berpantangan makanan akan menghambat intake bahan makanan kaya gizi pada ibu hamil. Hal inilah yang dapat menimbulkan risiko berkembangnya masalah gizi pada periode dimana ibu hamil membutuhkan zat gizi tinggi. Studi yang dilakukan Irwan dalam Sani (2008) menemukan bahwa ibu hamil yang berpantang makanan yang digolongkan hewani memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap tingginya kejadian anemia pada ibu hamil.

Selasa, 11 Januari 2011

KONDISI SOSIAL BUDAYA BERPANTANG MAKANAN DAN IMPLIKASINYA PADA KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT PESISIR ABELI KOTA KENDARI)

Abstrak
Hartati Bahar. Kondisi sosial budaya berpantang makanan dan implikasinya pada kejadian anemia ibu hamil (Studi kasus pada masyarakat pesisir Wilayah Kerja
Puskesmas Abeli di Kota Kendari) Tahun 2010


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor sosial budaya ibu hamil anemia dalam berpantang makan pada masyarakat pesisir wilayah kerja Puskesmas Abeli di Kota Kendari. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Cara mendapatkan informasi melalui Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam dan observasi lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat kepercayaan berpantang makan yang kaya akan zat besi meliputi golongan hewani, nabati, dan gabungan keduanya disamping terdapat juga makanan yang dianjurkan dikonsumsi yang berasal dari golongan nabati. Berpantang makan golongan hewani yakni cumi-cumi, udang, kepiting, gurita, telur bebek dan beberapa jenis ikan. Golongan nabati meliputi daun kelor, rebung, tebu, sayur terong, nangka dan papaya muda serta beberapa jenis buah-buahan. gabungan keduanya berupa mengurangi porsi makan selama hamil dan pantangan makan di waktu-waktu tertentu.

Kesimpulan penelitian ini adalah aspek sosial budaya yang berperan dalam kejadian anemia adalah kepercayaan berpantang makanan tertentu yang kontribusi terhadap kejadian anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari.


Kata kunci : sosial budaya, anemia.

PENDAHULUAN
Tingginya angka kematian ibu masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia merupakan masalah gizi mikro terbesar dan tersulit di seluruh agenda (Soekirman 2000 dalam Darlina 2003). Sebagian besar anemia pada ibu hamil adalah anemia karena kekurangan zat besi. Saat ini diperkirakan setiap tahun, sekitar 4 juta ibu hamil dan ibu menyusui menderita gangguan anemia yang sebagian besar disebabkan oleh kekurangan zat besi (Bappenas, 2007).
Hasil laporan kemajuan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2007 AKI ibu di Indonesia masih mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup, tertinggi di Asia Tenggara dan anemia berkontribusi terhadap kematian ibu mencapai 50 % hingga 70% (Sukowati, 2007).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Depkes, 2008) Sulawesi Tenggara termasuk Provinsi dengan prevalensi anemia sangat tinggi di Indonesia selain Maluku Utara. Survey terakhir di Kota Kendari yang pernah dilakukan saat masih tergabung dengan Kabupaten Kendari tahun 1993 oleh Puslitbang Gizi Bogor bekerjasama dengan Kanwil Depkes Provinsi Sulawesi Tenggara dan diperoleh hasil bahwa prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil 62,5%. Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Abeli Tahun 2009 menunjukkan prevalensi anemia besi pada ibu hamil masih diatas cut of point anemia yaitu 44,3% (Rahman, 2009). Padahal daerah Abeli merupakan daerah pesisir dan sebahagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan (Profil Kecamatan Abeli, 2009).
Pada masyarakat pesisir di Kecamatan Abeli, konsep anemia ditandai dengan keadaan pucat dengan gejala pusing, lemah/kurang bergairah. Penyebab anemia menurut mereka karena ibu hamil kerja berat dan malas makan. Dianggap sesuatu hal yang wajar sebagai konsekuensi dari setiap kehamilan dan berusaha diatasi sendiri berdasarkan pengalaman dari generasi sebelumnya yaitu cukup dengan mengurut-urut kepala ibu sambil banyak beristirahat. Namun, apabila keadaannya tidak mengalami perubahan, dilanjutkan mencari pertolongan ke dukun dengan jampi-jampi tertentu atau ke tenaga kesehatan.
Walaupun seorang wanita dianggap sehat dan kehamilannya sendiri merupakan hal yang wajar, namun dalam banyak kebudayaan kondisi hamil itu dianggap menempatkan wanita dalam kondisi khusus yang bisa pula mendatangkan bahaya bagi dirinya atau bagi bayi dalam kandungannya. Secara umum adalah lazim adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu menyangkut ibu hamil dan anak yang dikandungnya, sehingga bagi ibu hamil dikenakan banyak keharusan atau larangan tertentu yang berlaku secara turun temurun.
Dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya (Kalangi, 1994). Berdasarkan hal tersebut, pembahasan mengenai kontribusi faktor sosial budaya ibu hamil terhadap kejadian anemia merupakan faktor menarik untuk dikaji khususnya di wilayah kerja Puskesmas Abeli sebagai daerah pesisir yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan.

METODE
Penelitian ini menggunakan ”metode kualitatif” dengan pendekatan studi kasus. Esensi dari penelitian ini adalah mencoba mendapatkan gambaran peran aspek sosial budaya pada pola ibu hamil dalam konsumsi zat besi dan kepercayaan berpantang terhadap makanan tertentu yang berkaitan dengan anemia. Triangulasi metode pengumpulan data adalah focus group discussion (FGD), wawancara mendalam dan observasi terhadap informan sebagai fakta untuk memperkuat analisis.
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purpossive sampling dengan pertimbangan bahwa informan yang dipilih dianggap dapat memberikan informasi secara mendalam tentang perilaku ibu hamil yang berkaitan dengan pola konsumsi makanan tertentu yang berkaitan dengan kejadian anemia .
Peneliti melakukan FGD dan wawancara mendalam secara langsung dengan menggunakan panduan yang telah disusun sebelumnya. Peserta FGD terdiri atas dua kelompok pada dua kelurahan dengan jumlah 16 orang. Peserta FGD terdiri atas ibu hamil, dukun beranak, kader kesehatan, tokoh masyarakat dan bidan desa.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan yang sebelumnya ikut dalam FGD dan juga informan yang sebelumnya tidak mengikuti FGD untuk menggali lebih jauh informasi seputar perilaku ibu hamil dalam pola konsumsi makanan makanan tertentu. Hasil diskusi dan wawancara dicatat dan direkam dengan menggunakan tape recorder.

HASIL
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makanan yang dipantang oleh ibu hamil selama masa kehamilan terdiri atas golongan hewani, golongan nabati dan gabungan dari keduanya (golongan nabati dan hewani).
Makanan yang dipantang ibu hamil dari golongan hewani adalah cumi-cumi, gurita, kepiting, daging, kepiting dan udang yang baru ganti kulit, ikan pari, ikan yang tidak memiliki lidah, ikan yang memiliki banyak duri (terundungan) dan telur bebek. Kepercayaan berpantang makan ini didasarkan atas hubungan asosiatif antara bahan makanan tersebut menurut bentuk atau sifatnya dengan akibat buruk yang akan ditimbulkan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan. Ibu hamil berpantang makan cumi-cumi sebab cumi-cumi berjalan maju mundur diasosiasikan dengan proses melahirkan yang sulit di pintu lahir, bayi akan menyulitkan persalinan dengan maju mundur pada saat proses kelahiran.
Kepiting dilarang karena dikhawatirkan anak akan nakal dan suka menggigit jika besar. Gurita dilarang sebab bersifat lembek diasosiasikan dengan bayi yang juga akan lemah fisiknya seperti gurita. Kepiting dan udang yang baru ganti kulit dilarang sebab bertekstur lembek tidak bertulang diasosiasikan dengan anak yang juga akan lemah tak bertulang jika lahir, begitu juga dengan ikan pari dipantang karena memiliki tulang lembut dipercayai akan menyebabkan bayi juga bertulang lembut, daging dipantang karena dikhawatirkan ibu akan kesulitan melahirkan jika bayinya terlalu sehat, ikan yang bemiliki banyak duri (terundungan) dilarang karena akan menyebabkan perasaan ibu hamil tidak enak dan menimbulkan rasa panas selama kehamilan, telur bebek dipantang karena akan menyulitkan persalinan.
Makanan yang dipantang oleh ibu hamil dari golongan nabati adalah mangga macan, durian, nenas, nangka, sayur rebung, pisang kembar, daun kelor, nangka muda, kelapa muda, pepaya muda, terong dan tebu.
Ibu hamil berpantang makan mangga macan, durian, nenas, dan nangka karena dianggap bersifat panas dikaitkan dengan keyakinan dikotomi panas dingin. Ibu hamil dianggap dalam kondisi dingin sehingga tidak boleh makan makanan yang sifatnya panas sebab dapat menyebabkan keguguran kandungan pada umur kehamilan muda. Kelapa muda dipantang pada awal kehamilan karena dapat mengakibatkan keguguran, rebung dilarang karena dikhawatirkan akan menyebabkan anak memiliki banyak bulu/rambut jika lahir, pisang kembar dipantang diasosiasikan anak juga akan kembar jika lahir, daun kelor dilarang karena mengandung getah yang pedis yang akan menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran dikenal dengan sebutan “getah kelor”, juga karena daun kelor yang berakar diasosiasikan dengan ari-ari bayi yang juga akan berakar.
Ibu hamil berpantang mengkonsumsi nangka muda karena nangka muda juga memiliki getah yang akan menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran. Pepaya muda dipantang karena dapat menyebabkan gatal-gatal pada ibu hamil dan bayi yang ada didalam kandungan. Terong dilarang karena juga dapat mengakibatkan gatal-gatal pada ibu dan bayinya. Tebu dilarang karena akan menyebabkan rasa sakit karena ibu akan mengeluarkan banyak air mendahului proses kelahiran diasosiasikan dengan tebu yang juga mengandung banyak air.
Berpantang makan dari golongan hewani dan nabati berupa: mengurangi porsi makan (kuantitas), pantangan makan sembunyi-sembunyi, dan pantangan makan di waktu-waktu tertentu. Berpantang makan dipiring besar juga disertai tidak boleh makan dengan beberapa piring.
Makan dipiring besar diasosiasikan dengan bayi yang juga akan memiliki ari-ari yang besar dan dapat menyulitkan persalinan. Makan dipiring terpisah diyakini akan mengakibatkan proses melahirkan akan tersendat-sendat. Makan sembunyi-sembunyi saat hamil di yakini akan menyulitkan persalinan dengan keluarnya feses pada saat melahirkan. Makan diwaktu magrib dipantang sebab waktu magrib diasosiasikan dengan waktu keluarnya makhluk halus yang dapat membahayakan kehamilan.
Informasi yang diperoleh dari salah satu tokoh masyarakat (HS, 71 tahun) mengenai pantangan dan larangan selama kehamilan, larangan-larangan dan pemali-pemali banyak ditemui pada suku Bugis, Buton dan Bajo. Khusus pada suku Tolaki kepercayaan dan pantangan-pantangan tersebut sudah jarang ditemukan bahkan tidak ada. Hal ini juga di dukung dengan hasil observasi kepada salah satu ibu hamil dari Suku Tolaki (ER, 32 tahun) yang menyatakan bahwa selama hamil dari anak pertama hingga anak ketiga tidak ada pantangan makan dan pemali yang dianut dan dilaksanakannya.
PEMBAHASAN
Penyebab anemia dalam kehamilan sebenarnya merupakan rangkaian masalah sejak seorang wanita lahir sampai dengan tuanya. Di dalam proses daur hidup ini kehamilan bisa menjadi sebuah tahapan yang menjadi akibat dari proses sebelumnya. Seorang ibu hamil umumnya mengalami anemia, bukan saja karena kehamilannya, tetapi karena anemia yang dibawa sejak usia reproduktif.
Secara umum sebagaimana dinyatakan oleh Adrina dkk (1998) dalam Zaluchu (2007), adalah lazim adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu, menyangkut ibu hamil dan anak yang dikandungnya, sehingga bagi ibu hamil dikenakan banyak keharusan atau larangan tertentu baik yang berhubungan dengan makanan yang boleh atau tidak dikonsumsi termasuk perbuatan yang dianjurkan maupun yang dipantang selama kehamilan.
Masyarakat dimanapun di dunia memiliki kategori-kategori tentang makananan yang dikenalnya dalam lingkungan yang didasarkan atas konsepsi budaya. Dalam kategori makanan itu, bahan-bahan makanan yang dikategorikan sebagai makanan juga termasuk pemahaman tentang makna secara budaya cara mengkonsumsinya maupun kelompok yang mengkonsumsinya.
Kategori makanan bagi wanita hamil berkenaan dengan pandangan budaya tentang makanan yang dianggap baik sehingga harus dikonsumsi maupun yang dianggap dapat memberikan dampak buruk bagi dirinya dan bayi dalam kandungannya sehingga harus dihindari. Makanan yang dianggap baik digolongkan sebagai makanan yang dianjurkan dan makanan yang memberikan dampak buruk digolongkan sebagai makanan yang dipantang.
Makanan pantang adalah bahan makanan yang tidak boleh dimakan oleh ibu hamil dalam masyarakat karena alasan-alasan yang bersifat budaya. Ibu berpantang makan karena sedang mengalami keadaan khusus yaitu kehamilan dan karena dalam kebudayaan setempat terdapat suatu kepercayaan tertentu terhadap bahan makanan tersebut. Kepercayaan ini diajarkan secara turun temurun dan cenderung ditaati walaupun individu yang menjalankannya mungkin tidak terlalu paham atau yakin akan rasional dari alasan-alasan memantang makanan yang bersangkutan dan sekedar mematuhi tradisi setempat.
Aspek sosial budaya yang tercermin pada pengetahuan dan tindakan berpantang makan pada ibu hamil di Kecamatan Abeli terbentuk secara turun-temurun. Pengetahuan ini merupakan bentukan warisan leluhur yang nampak secara tertutup sebagai norma dan nilai yang yakini kebenarannya (covert behavior) juga nampak juga sebagai perilaku dapat diamati dalam bentuk tindakan (overt behavior) yang tercermin pada ketidakmauan ibu hamil dalam mengkonsumsi makanan yang dianggap dapat membahayakan janin dalam kandungannya sekalipun jenis-jenis makanan tersebut banyak terdapat di Wilayah Abeli.
Di Abeli kebiasaan berpantang ini pada dasarnya juga dihubungkan dengan kepatuhan terhadap orang tua, dukun dan kerabat. Bila tidak melaksanakan pantangan atau melanggarnya maka dianggap membangkang dan tidak patuh terhadap orang tua, dapat mendatangkan akibat yang diasosiasikan dengan bentuk dan sifat dari bahan makanan yang dipantang.
Memperhatikan banyaknya variasi makanan yang dipantang diatas, jenis makanan dipantang yang hampir ditemukan pada semua segmen informan adalah cumi-cumi, gurita, kepiting, kepiting dan udang yang baru ganti kulit, ikan yang tidak memiliki lidah, ikan pari, ikan yang memiliki banyak duri (terundungan), mengurangi porsi makan selama hamil, durian, nangka, nenas, dan daun kelor. Sedangkan jenis makanan lainnya jarang ditemukan pada segmen informan.
Jenis ikan dan lauk yang dipantang oleh ibu hamil di Kecamatan Abeli seperti cumi-cumi, gurita, kepiting, kepiting dan udang yang baru ganti kulit, ikan yang tidak memiliki lidah, ikan pari, ikan yang memiliki banyak duri (terundungan) banyak ditemukan di daerah ini mengingat wilayah Kecamatan Abeli merupakan wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal ini juga didukung dengan hasil observasi pada jalan raya utama di sepanjang Kecamatan Abeli banyak terdapat penjual bahan makanan golongan hewani ini. Selanjutnya pantangan dari golongan nabati seperti nenas, nangka, durian tidak selalu ada atau bermusim. Berbeda dengan pohon pisang dan pohon kelor yang banyak tumbuh dan dijumpai di Kecamatan Abeli. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan ditemukan banyak pohon kelor ditanam disekitar pemukiman warga bahkan ada sebagian warga menjadikan pohon kelor sebagai tanaman pagar di halaman rumah mereka.
Jenis makanan yang banyak dipantang dari golongan hewani (cumi, gurita, golongan ikan) termasuk makanan yang mengandung zat besi golongan hem yaitu zat besi yang berasal dari haemoglobin dan mioglobin. Zat besi pada pangan hewani lebih tinggi penyerapannya yaitu 20-30%, sedangkan dari sumber nabati hanya 1-6% (Arief, 2008). Sedang jenis makanan yang banyak dipantang dari golongan nabati seperti daun kelor yang kaya akan zat besi juga beberapa jenis buah yang kaya akan berbagai jenis vitamin yang dibutuhkan untuk membantu penyerapan zat besi didalam tubuh.
Buah pisang mengandung cukup banyak vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C serta memberikan sumbangan mineral cukup berarti seperti kalsium, fosfor, dan zat besi. Buah nenas kaya akan vitamin C yang termasuk kategori unggul, nangka mengandung vitamin C dan vitamin B kompleks juga mengandung mineral esensial yang dibutuhkan tubuh seperti kalsium, fosfor, besi, dan kalium. Durian mengandung vitamin A dan vitamin C, sedangkan vitamin yang banyak terdapat pada mangga adalah vitamin A, vitamin C dan vitamin B kompleks (Astawan, 2009).
Jenis-jenis vitamin tersebut khususnya vitamin A dan vitamin C dibutuhkan untuk mempercepat penyerapan Fe di dalam usus dan memindahkannya ke dalam darah, juga terlibat dalam mobilisasi simpanan Fe terutama hemosiderin dalam limpa (Under 1992 dalam Musni 2009). Beberapa hasil penelitian juga memperkuat hal ini yakni hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2009) menyimpulkan bahwa pemberian vitamin C dan vitamin A secara bersamaan berpengaruh pada suplementasi besi folat terhadap kadar hemoglobin ibu hamil anemia di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.
Telur ayam adalah kapsul alami yang kaya gizi yaitu zat besi, fosfor, kalsium, sodium dan magnesium. Sumber gizi telur lebih banyak pada kuning telurnya dibandingkan dengan yang berwarna putih. Zat besi dan vitamin A telur sebagian besar bahkan seluruhnya terkosentrasi pada kuning telur (Khomzan 2004 dalam Musni 2009) sehingga berpantang telur selama hamil merugikan kesehatan.
Kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan cukup besar pengaruhnya pada kehamilan dan masalah gizi. Pantangan makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentu akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Menurut Subowo (2008) penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.
Penelitian oleh Idrus (1998) pada suku Bajo yang ada di Kabupaten Kendari, terdapat pantangan bagi wanita hamil yakni tidak boleh mengambil makanan dari periuk dengan tangannya, tidak boleh makan dengan menggunakan piring yang besar, dan dilarang makan sayur yang terbuat dari daun kelor. Sebahagian besar pantangan-pantangan ini masih diyakini dan dilaksanakan oleh ibu hamil Suku Bajo yang bermukim di wilayah pesisir Kecamatan Abeli.
Selain itu konsep asosiasi dengan bentuk sifat dari bahan makanan yang dipantang merupakan cerminan dari rasa altruisme seorang ibu terhadap anaknya. Altruisme ini tercermin sebagai perhatian terhadap kesejahteraan jabang bayi yang dikandung tanpa memperhatikan diri sendiri, bagi sebahagian orang tua perilaku ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk menunjukkan rasa sayang kepada janin (calon anak) yang akan dilahirkan tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan yang akan didapatkan.
Sumber pengetahuan berpantang makanan ini berlangsung secara turun temurun yang kebanyakan berasal dari mereka yang dianggap panutan, semisal orang tua atau dukun. Apa yang mereka sebut sebagai ”pengetahuan” itu sebenarnya bukan merupakan pengetahuan yang dipelajari, namun yang didapatkan dalam daur kehidupan sebagai pewarisan kebudayaan mereka. Khusus di Kecamatan Abeli pemeliharaan kesehatan dan cara-cara penanggulangan masalah kehamilan dilakukan dengan menghindari pantangan-pantangan yang diyakini oleh masyarakat dan didasarkan atas sistem kepercayaan yang berlaku secara turun-temurun sebagai pewarisan kebudayaan.
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga, teman sepermainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).
Pantangan atau larangan makan dalam proses kehamilan sangat mempengaruhi kecukupan zat gizi pada ibu hamil, padahal seorang ibu yang sedang hamil seharusnya terpenuhi kecukupan gizinya untuk kepentingan dirinya sendiri dan janin yang sedang dikandungnya. Ibu hamil yang masih secara konsisten berpantang makan banyak ditemukan pada ibu hamil dengan gejala anemia. Selain kebiasaan berpantang makan, ditemukan juga beberapa ibu hamil yang tidak melaksanakan pantangan tersebut. Hal ini dapat dijadikan acuan walaupun masih memerlukan pembuktian lebih lanjut bahwa ibu hamil yang masih konsisten berpantang makan mempunyai kontribusi terhadap kejadian anemia.
Wilayah Abeli sebagian besar adalah wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan namun kurang mendayagunakan sumber-sumber hasil laut sebahai bahan konsumsi makanan bernilai gizi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa faktor nilai dan norma dalam sosial budaya yang berkaitan dengan kepercayaan tertentu terhadap makanan mempunyai relasi dengan kejadian anemia pada ibu hamil di Kecamatan Abeli Kota Kendari Tahun 2010. Perilaku berpantang makan makanan ini meliputi berpantang makan golongan hewani yakni cumi-cumi, udang, kepiting, gurita, telur bebek dan beberapa jenis ikan. Golongan nabati meliputi daun kelor, rebung, tebu, sayur terong, nangka dan papaya muda serta beberapa jenis buah-buahan. gabungan keduanya berupa mengurangi porsi makan selama hamil dan pantangan makan di waktu-waktu tertentu.

SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan makanan golongan hewani yang banyak terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Abeli dikonsumsi oleh ibu hamil karena merupakan bahan pangan sumber utama zat besi dan lebih dari dua kali lebih mudah diserap dibandingkan dengan sumber nabati, begitu juga agar daun kelor yang banyak terdapat di wilayah pesisir Kecamatan abeli beserta sayuran hijau lainnya untuk dikonsumsi oleh ibu hamil karena jenis sayuran tersebut selain mengandung zat besi juga mengandung vitamin yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi seperti vitamin C dan vitamin A.
Disarankan pula bagi tenaga kesehatan agar memberikan informasi kepada setiap ibu hamil akan bahaya anemia selama kehamilan kemudian diharapkan lebih mendayagunakan sumber-sumber hasil laut sebahai bahan konsumsi makanan bernilai gizi tinggi dengan pendidikan kesehatan tentang khasiat sumber-sumber makanan laut melalui Posyandu dan melalui media televisi lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Arief Nurhaeni, 2008, Kehamilan dan Kelahiran Sehat, Dian Loka, Yogyakarta.

Astawan Made, 2009, Ensiklopedia Gizi Pangan Untuk Keluarga, Dian Rakyat, Jakarta.

Bappenas, 2007, Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2006– 2010, Jakarta. ISBN 978-979-3764-27-6.

Darlina dan Hardinsyah, 2003, Faktor Risiko Anemia Pada Ibu Hamil di Kota Bogor, Media Gizi dan Keluarga Vol. 27 No.2.

Depkes RI, 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007.

Dinkes Sultra, 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2007.

Dinkes Kota Kendari, 2008. Profil Kesehatan Kota Kendari Tahun 2007.

Dinkes Kota Kendari, 2009. Profil Puskesmas Abeli Tahun 2008

Herimanto dan Winarno, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta.

Idrus Muhammad M, 1998, Pengobatan, Kehamilan, Dan Kelahiran Pada Orang Bajo Di Lasolo, Kabupaten Kendari, dalam Meutia F swasono ” Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu Dan Bayi Dalam Konteks Budaya”. UI-Press: Jakarta.

Kalangi Nico S, 2004, Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosial Budaya, Megapoin, Jakarta.

Rahman, Asdar, 2009. Analisis Determinan Kejadian Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil Diwilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari, Skripsi IKM Unhalu Kendari.

Subowo Ari, 2008, Kinerja Pembangunan Kesehatan : Tinjauan Disparitas Pelayanan Kesehatan Ibu Dan Anak , “DIALOGUE” Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol. 5, No. 2 : 155-166

Zaluchu Fotarisman, 2007, Faktor Sosio-psikologi Masyarakat Yang Berhubungan Dengan Anemia Ibu Hamil di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara (11–18), Info Kesehatan Masyarakat Vol. XI, No.1: 11-18, ISSN 1410-6434