Jumat, 28 Januari 2011

Teori Dalam Penelitian Kualitatif (Part II)

Dalam penelitian kualitatif yang bersifat holistik, jumlah teori yang harus dimiliki peneliti kualitatif jauh lebih banyak di bandingkan penelitian kuantitatif karena harus disesuaikan dengan fenomena yang berkembang dilapangan. Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam. Walaupun peneliti kualitatif dituntut untuk menguasai teori yang luas dan mendalam, namun dalam melaksanakan penelitian, peneliti kualitatif harus mampu melepaskan teori yang dimiliki tersebut dan tidak digunakan sebagai panduan dalam menyusun instrument dan sebagai panduan dalam menyusun panduan untuk wawancara, dan observasi.

Peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Peneliti kualitatif harus bersifat “perspektif emic” artinya memperoleh data bukan “sebagai seharusnya”, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi dilapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh partisipan/sumber data.

Oleh karena itu penelitian kualitatif jauh lebih sulit dari penelitian kuantitatif, karena peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas sehingga mampu menjadi “human instrument” yang baik. Penelitian kualitatif jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian kuantitatif karena data yang terkumpul bersifat subyektif dan instrument sebagai alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri.

Untuk dapat menjadi instrument penelitian yang baik, peneliti kualitatif dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, baik wawasan teoritis maupun wawasan yang berkaitan dengan konteks sosial yang diteliti yang berupa nilai, budaya, keyakinan, hukum, adat-istiadat yang terjadi dan berkembang pada konteks sosial tersebut. Bila peneliti tidak memiliki wawasan yang luas, maka peneliti akan sulit membuka pertanyaan pada sumber data, sulit memahami apa yang terjadi, tidak akan mampu memahami analisis secara induktif terhadap data yang diperoleh, padahal pendekatan induktif memberikan panekanan pada pemahaman yang kompresif atau “holistik" mengenai situasi sosial yang ditelaah. Artinya, kehidupan sosial dipandang sebagai pelibatan serangkaian peristiwa yang saling berpautan, yang perlu untuk digambarkan secara lengkap oleh peneliti kualitatif.

Peneliti kualitatif dituntut mampu mengorganisasikan semua teori yang dibaca. Landasan teori yang dituliskan dalam proposal penelitian lebih berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh peneliti memiliki teori dan memahami permasalahan yang diteliti walaupun permasalahan tersebut masih bersifat sementara. Oleh karena itu landasan teori yang dikemukakan bukan merupakan harga mati, tetapi bersifat sementara. Peneliti kualitatif justru dituntut untuk melakukan “grounded research”, yaitu menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh dilapangan.

Setiap penelitian bermaksud untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan itu adakalanya berupa teori, yang merupakan penjelasan terhadap gejala-gejala, dan adakalanya berupa knowledge yang merupakan konsep-konsep atau pola-pola regulasi yang terdapat di alam ini. Selain itu, penelitian juga bermaksud untuk menemukan pengetahuan yang berupa strategi-strategi untuk pemecahan suatu masalah. Pada dasarnya penelitian kualitatif dapat digunakan untuk ketiga maksud tersebut.

Untuk menggali ragam pengetahuan yang disebut di atas, penelitian kualitatif mempunyai caranya sendiri, yang berbeda dari penelitian kuantitatif. Jika penelitian kuantitatif bertolak dari suatu teori dan kemudian bermaksud untuk mengujinya, maka dalam penelitian kualitatif tidak demikian halnya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertolak dari ketidaktahuan, artinya peneliti belum memiliki pengetahuan tentang obyek yang diteliti, termasuk jenis data dan kategori-kategori yang mungkin ditemukan. Karena itu, penelitian kualitatif tidak menggunakan teori yang sudah ada sebagai dasar pengembangan teoritiknya.

Ada dua bentuk perangkat yang digunakan dalam merancang kerangka konseptual sebagai panduan kerja dalam penelitian kualitatif. Kedua perangkat dimaksud adalah “paradigma alamiah” (naturalistic paradigm) dan pola pengembangan pengetahuan dalam “bidang ilmu” yang diteliti. Pada dasarnya kedua perangkat ini bersifat saling melengkapi, di mana paradigma alamiah mengarahkan kegiatan penelitian, dari mana dimulai dan ke mana arahnya, serta bagaimana cara atau proses kerjanya, sedangkan bidang ilmu mempertegas obyek material atau substansi yang layak diteliti. Pandangan mendasar yang menjadi asumsi paradigma alamiah adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada pola-pola interaksi atau perilaku tertentu yang terjadi secara ajeg. Jika peneliti dapat mendeteksi dan menemukan pola-pola itu, maka ia dapat menyusunnya menjadi suatu teori. Inilah yang dimaksudkan dalam grounded theory bahwa penelitian kualitatif merupakan satu upaya untuk membangun teori dari dasar. Jadi, teori itu sesungguhnya ditemukan dari masyarakat melalui penelitian yang sistematis. Oleh karena itu, penelitian kualitatif sama sekali tidak bermaksud untuk menguji teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan jika penelitian kualitatif dimulai dengan teori atau konsep/variabel yang digunakan teori sebelumnya, karena akan menghambat pengembangan rumusan teori baru.

Sejalan dengan asumsi di atas, peneliti kualitatif tidak membawa konsep-konsep yang diperoleh dari teori (yang sudah ada) ke lapangan, melainkan berusaha memahami dan memaknai fenomena sesuai dengan pemahaman dan pemaknaan yang diberikan oleh subyek yang diteliti. Ini sangat prinsip dalam penelitian kualitatif. Strategi ini disebut dengan pendekatan emik, yaitu suatu prinsip pemaknaan fenomena berdasarkan pemahaman "orang dalam", dengan menggunakan ukuran-ukuran yang ditemukan di lapangan. Dasar pijakan penelitian ini ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti. Bertolak dari prinsip paradigma alamiah, proses data kualitatif selalu menggunakan metode berpikir induktif. Prinsip pokok teknik analisa ini ialah mengolah dan menganalisa data menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna. Tujuan akhir penelitian kualitatif ialah menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan atau pembangunan suatu teori baru. Perangkat yang kedua adalah pola pengembangan ilmu sosial, yang pada mulanya metode-metode kualitatif muncul dari penelitian-penelitian antropologi, etnologi, serta aliran fenomenologi dan aliran idealisme. Karena metode-metode ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu sosial lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya.

Ada dua istilah yang sering dipakai dalam penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual. Istilah kerangka teoritis banyak dipakai dalam penelitian kuantitatif, tidak pada penelitian kualitatif, sedangkan istilah kerangka konseptual lebih tepat digunakan pada penelitian kualitatif. Dasar pertimbangannya adalah, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan deduksi logis dari suatu teori untuk perumusan hipotesis, sedangkan penelitian kualitatif lebih pada upaya pembentukan konsep-konsep dari data lapangan menuju pemahaman terhadap fenomena atau terbentuknya suatu teori.

Pada hakikatnya, kerangka konseptual adalah suatu rancangan yang dapat menegaskan tentang dimensi-dimensi kajian utama penelitian serta mengungkap tentang perkiraan hubungan-hubungan antara dimensi-dimensi tersebut. Atas dasar itu, kerangka konseptual merupakan panduan bagi peneliti dalam proses penelitiannya, baik memutuskan karakeristik data yang harus dikumpulkan, strategi dalam melakukan kategorisasi, maupun dalam penemuan relasi antara kategori.

Kapan waktu yang paling tepat melakukan perancangan kerangka konseptual dalam penelitian kualitatif? Ini menjadi diskusi yang tidak berujung di kalangan ahli kualitatif. Jika dilakukan dari awal, mungkin sekali membuat ketidakbebasan bagi peneliti untuk menemukan fenomena yang asli, karena pikirannya telah terfokus untuk memperhatikan hanya pada fokus khusus. Hal ini merupakan pengebirian karakter penelitian kualitatif. Tetapi jika kerangka konseptual dirancang belakangan, dapat mengakibatkan pengumpulan data serampangan dan bisa jadi menghadirkan data yang melimpah-ruah.

Diskusi yang tidak pernah selesai ini menjadi faktor munculnya berbagai pola perancangan kerangka konseptual di kalangan peneliti kualitatif. Ahli antropologi dan fenomenologi berpendapat, realitas sosial itu cukup kompleks, karena itu peta-peta konseptual yang konvensional akan menjadi kendala. Sebab, latar, fenomena-fenomena, dan pelaku-pelaku yang paling bermakna tidak akan dapat diramalkan sebelum penelitian lapangan. Jadi, kerangka konseptual seharusnya muncul secara empiris di lapangan sewaktu penelitian berjalan.

Tidak semua penelitian harus menghasilkan teori. Sebagian dari hasil penelitian itu tidak dimungkinkan untuk dilajutkan ke perumusan teori, dan karena itu harus dihentikan sampai pada penemuan formulasi-formulasi konseptual dan tema-tema budaya. Penelitian yang sampai pada penemuan tema-tema seperti itu juga cukup penting, sebab tema-tema yang memuat keterangan deskriptif itu dapat disusun secara sistematis ke dalam bentuk konsepsi -konsepsi dekriptif yang kaya dengan definisi, informasi, dan atau abstraksi dari gejala-gejala sosial. Atas dasar itu, seorang peneliti kualiatif tidak mesti memaksakan diri untuk menemukan “teori” dari kancah, bahkan ia dapat saja merancang sebuah penelitian yang hanya sampai pada penemuan tema-tema untuk disusun ke dalam pengetahuan deskriptif yang bersifat informatif.

Akhirnya, Perumusan teori dimulai dengan mereduksi jumlah kategori-kategori sekaligus memperbaiki rumusan dan integrasinya. Modifikasi rumusan semakin minimal, sekaligus isi data dapat terus semakin diperbanyak. Atribut terori yang tersusun dari hasil penafsiran/pemaknaan dilengkapi terus dengan data baru, dirumuskan kembali dalam arti diperluas cakupannya sekaligus dipersempit kategorinya. Jika hal itu sudah tercapai dan peneliti telah merasa yakin akan hasilnya, pada saat itu peneliti sudah dapat mempublikasikan hasil penelitiannya.


Daftar Bacaan :
Gempur Santoso, Fundamental Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Cetakan pertama: Juli 2005, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005.

Purwoko, Bambang, Penelitian Kualitatif, Bahan Kuliah S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gajah Mada, 2008.

Siregar, Parluhutan. Teori dan Kerangka Konseptual, http://google.or.id//teori dalam penelitian kualitatif.htm. di akses September 2008

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2006
Widoyoko, EP, Analisis Kualitatif Dalam Penelitian Sosial, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo, 2007.

Sedyaningsih, Endang R, Pengenalan Studi Kualitatif, Puslitbang Pemberantasan Penyakit, 2008.

Teori Dalam Penelitian Kualitatif (Part I)

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya, secara umum tujuan penelitian kualitatif adalah untuk “menemukan”. Menemukan berarti sebelumnya belum pernah ada atau belum diketahui. Bisa dikatakan bahwa pendekatan kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti, Kebenaran dari hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi. Hasil analisis penelitian kualitatif naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan maupun menemukan terori-teori sosial.

Dengan metode kualitatif, maka peneliti dapat menemukan pemahaman yang luas dan mendalam terhadap situasi sosial yang kompleks, memahami interaksi dalam situasi sosial tersebut sehingga dapat ditemukan hipotesis, pola hubungan yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi teori.

Teori adalah seperangkat dalil mengenai hubungan antara berbagai konsep. Dalam penelitian kualitatif, teori yang sudah ada memiliki kegunaan yang cukup penting, teori dalam penelitian kualitatif digunakan secara lebih longgar, teori memungkinkan dan membantu untuk memahami apa yang sudah diketahui secara intuitif pada saat pertama, tetapi bersifat jamak untuk berubah sebagaimana teori sosial berubah. Pada umumnya teori bagi penelitian kualitatif berguna sebagai sumber inspirasi dan pembanding.

Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh peneliti bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penelitian kualitatif juga bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau dalam konteks sosial. Dalam kaitannya dengan teori , penelitian kualitatif bersifat menemukan teori.

Posisi teori pada pendekatan kualitatif harus diletakkan sesuai dengan maksud penelitian yang dikerjakan. Pertama, untuk penelitian yang bermaksud menemukan teori dari dasar, paling tidak ada tiga aspek fungsi teori yang dapat dimanfatkan; (a) Konsep-konsep yang ditemukan pada teori terdahulu dapat "dipinjam" sementara (sampai ditemukan konsep yang sebenarnya dari kancah) untuk merumuskan masalah, membangun kerangka berpikir, dan menyusun bahan wawancara; (b) Ketika peneliti sudah menemukan kategori-kategori dari data yang dikumpulkan, ia perlu memeriksa apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya. Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang kategori tersebut. Hal ini dilakukan hanya untuk perbandingan saja, bukan untuk mengikutinya; dan (c) Proposisi teoritik yang ditemukan dalam penelitian kualitatif (yang memiliki hubungan dengan teori yang sudah dikenal) merupakan sumbangan baru untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan baru itu. Kedua, untuk penelitian yang bermaksud memperluas teori yang sudah ada, teori tersebut bermanfaat bagi peneliti pada tiga hal berikut; (a) Penelitian dapat dimulai dari teori terdahulu tersebut dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati data. Namun demikian, penelitian yang sekarang harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian dapat dengan bebas memilih data yang dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi; (b) Teori yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi pedoman dalam pengamatan/wawancara untuk mengumpul data awal; dan (c) Jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan teori yang ada.
(next to part II...)

Daftar Bacaan :
Gempur Santoso, Fundamental Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Cetakan pertama: Juli 2005, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005.
Purwoko, Bambang, Penelitian Kualitatif, Bahan Kuliah S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gajah Mada, 2008.
Siregar, Parluhutan. Teori dan Kerangka Konseptual, http://google.or.id//teori dalam penelitian kualitatif.htm. di akses September 2008
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2006
Widoyoko, EP, Analisis Kualitatif Dalam Penelitian Sosial, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo, 2007.
Sedyaningsih, Endang R, Pengenalan Studi Kualitatif, Puslitbang Pemberantasan Penyakit, 2008.

Rabu, 26 Januari 2011

Trend TFR, IMR, dan Migrasi Risen Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 1980-2010

Abstrak. Hartati Bahar. Trend TFR, IMR, dan Migrasi Risen Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 1980-2010

Perubahan jumlah penduduk pada suatu daerah dipengaruhi oleh tiga komponen demografi yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan migrasi. Peristiwa kelahiran merupakan faktor penambah jumlah penduduk dan kematian merupakan faktor pengurang jumlah penduduk, sedangkan migrasi merupakan faktor penambah jumlah penduduk jika tidak seimbang antar migrasi masuk dengan migrasi keluar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran trend dinamika kependudukan Provinsi Sulawesi Tenggara dari tahun 1980 hingga tahun 2000 serta proyeksinya hingga 2010, dengan menggunakan metode pengukuran Angka Fertilitas Total (TFR), Angka Kematian Bayi (IMR), dan Angka Migrasi Risen.
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan melihat trend tentang fertilitas, mortalitas, dan migrasi risen yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara dan melakukan analisis data sekunder dari data sensus, survei penduduk antar sensus, dan registrasi penduduk yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara periode 1980-2000 dan proyeksinya hingga 2010.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Angka Fertilitas Total pada tahun 1980-2010 memberikan gambaran yang menurun dan berdasarkan hasil proyeksinya hingga tahun 2010 tetap memberikan gambaran trend yang cenderung menurun. Untuk Angka Kematian Bayi juga menunjukkan trend yang menurun. Kemudian, untuk Angka Migrasi Risen menunjukkan trend yang berfluktuasi namun lebih menunjukkan trend yang cenderung untuk meningkat dari tahun 1980 hingga proyeksinya pada tahun 2010.

Kata Kunci : TFR, IMR, Migrasi Risen, Trend

Selasa, 18 Januari 2011

Kajian Budaya Terhadap Pola Makan

Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan adalah penting untuk memahami dampak kesehatan bagi bayi dan ibu sendiri.
Faktor sosial budaya memegang peranan penting dalam memahami sikap dan perilaku dalam menanggapi kehamilan, kelahiran, serta perawatan bayi dan ibunya. Pandangan budaya tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu sekalipun petugas kesehatan menemukan bentuk perilaku atau sikap yang terbukti kurang menguntungkan bagi kesehatan, seringkali tidak mudah bagi mereka untuk mengadakan perubahan terhadapnya (Pasaribu, 2005).
Masyarakat dimanapun di dunia ini mempunyai kategori tentang makanan yang didefinisikan secara budaya. Pada berbagai kebudayaan, kondisi hamil dianggap sebagai suatu kondisi khusus, yang bisa mendatangkan bahaya bagi diri ibu hamil atau bagi bayi dalam kandungan. Bahaya bisa dianggap datang dari berbagai lingkungan maupun dari berbagai situasi. Hal inilah yang mendorong timbulnya kepercayaan untuk memantau jenis-jenis makanan yang membahayakan kondisi ibu dan janinnya.
Permasalahan yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil untuk kesehatan ibu dan janin. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan seringkali membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak (Linda, 2004).
Pantangan atau taboo ialah suatu larangan untuk mengkonsumsi makanan tertentu karena terdapat ancaman bahaya terhadap barang siapa yang melanggarnya. Orang menganut sesuatu pantangan biasanya percaya bahwa bila pantangan itu dilanggar akan memberikan akibat kerugian yang dianggap sebagai suatu hukuman. Pada kenyataan hukuman ini tidak selalu terjadi bahkan seringkali tidak terjadi sama sekali. Pantangan atau taboo yang tidak berdasar agama/kepercayaan dapat kita hadapi menurut kategori:
a. Taboo yang jelas merugikan kondisi gizi dan kesehatan, sebaiknya diusahakan untuk mengurangi, bahkan kalau bisa dapat menghapusnya.
b. Taboo yang memang menguntungkan keadaan gizi dan kesehatan, diusahakan untuk memperkuat dan melestarikannya.
c. Taboo yang jelas pengaruhnya bagi kondisi gizi dan kesehatan dapat dibiarkan, diusahakan untuk memperkuatnya dan melestarikannya (Nurlinda, 2004)
Alasan-alasan dari perilaku memantang makanan bermacam-macam, ada yang didasarkan atas alasan agama, berdasarkan makna yang diberikan pada makanan itu, karena sifat keramatnya, ataupun alasan kesehatan dan keindahan tubuh sesuai konsep budaya masyarakat yang bersangkutan (Swasono, 1998 dalam Umar, 2009).
Penelitian yang dilakukan di Kalutara Srilanka yang menunjukkan bahwa mayoritas wanita hamil percaya bahwa konsumsi makanan tertentu selama kehamilan mungkin menyebabkan penyakit tertentu, Ballaga dan Kelawalla (sejenis ikan), daging sapi, nenas harus dihindari selama kehamilan sebab bersifat panas dan memanaskan badan hingga dapat menyebabkan keguguran (De Silva, 1996). Padahal berdasarkan fakta cukup seringnya masyarakat mengkonsumsi makanan sumber hewani yang kaya zat besi seperti daging dan ikan, dan jauh dari praktek kepercayaan akan makanan taboo bagi ibu hamil, sangat membantu suksesnya program penanggulangan anemia pada ibu hamil (Indriasari, 2005).
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan pendarahan yang banyak. Sementara itu disalah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makanannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah melahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantang makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena akan menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan (Wilko, 2009).
Seorang ibu yang sedang hamil seharusnya terpenuhi kecukupan gizinya untuk kepentingan dirinya sendiri dan janin yang sedang dikandungnya sehingga pantangan atau larangan dalam proses kehamilan sangat mempengaruhi kecukupan zat gizi pada ibu hamil.
Penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2003), menunjukkan selama masa kehamilan, wanita di Bogor Jabar jarang memeriksakan diri ke Puskesmas dengan alasan tidak ada keluhan, sangat erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat bahwa kehamilan adalah proses alamiah yang tidak perlu dirisaukan. Hasil Penelitian lain yang dilakukan oleh Hadju (2008) di 2 Kecamatan di Kabupaten Maros Sulsel menunjukkan bahwa pendidikan ibu, faktor kultural, serta dukungan masyarakat yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi kunjungan ibu ke petugas kesehatan.
Penelitian yang dilakukan di Thailand (Nigenda, 2004) menunjukkan bahwa terdapat larangan konsumsi makanan tertentu seperti telur karena ketakutan akan bayi yang akan dilahirkan berbau amis (bad smell). Penelitian lain yang dilakukan oleh Alwi dan Ratih (2004) di Papua menyatakan bahwa terdapat pantangan makanan (dietary taboos) pada wanita hamil seperti ikan menyebabkan Air susu Ibu amis dan beberapa jenis buah, nenas ketimun pisang yang dianggap dapat menurunkan libido wanita. Penelitian di Kab Gowa Sulsel menunjukkan sejumlah makanan yang dipantangi selama kehamilan memiliki makna tertentu. Nangka, durian, tape, diketahui berhawa panas sehingga apabila dikonsumsi dikhawatirkan akan menggugurkan janin, begitu juga dengan larangan mengkonsumsi cumi-cumi karena diyakini menyebabkan anak lahir akan kembar gurita dan kulitnya akan berwarna hitam sesuai cairan berwarna hitam yang dimiliki cumi-cumi (Nurlinda, 2004).
Selain makanan yang dipantang, terdapat pula makanan yang dianjurkan bagi ibu hamil, di Maluku Tengah kelapa muda boleh dimakan bahkan dianjurkan karena airnya dianggap baik untuk diminum agar kalau lahir nanti, bayinya menjadi bersih. Harus makan sayur-sayuran dalam porsi yang cukup banyak (Swasono dan Soselisa, 1998). Di Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara makanan yang dianjurkan adalah sayuran-sayuran tertentu, terutama daun-daunan yang berlendir dengan alasan akan dapat memperlancar kelahiran. Hal ini diasosiasikan dengan sifat licin dari lendir tersebut sehingga melicinkan proses kelahiran (Swasono dan Ulaen, 1998).
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Majene Sulsel menunjukkan bahwa makanan yang dianjurkan dimakan oleh ibu hamil hanya berasal dari golongan nabati dan hasil olahannya. Sayuran hijau daun dengan alasan kualitas anak akan baik dan kuat sejak dalam kandungan sampai lahir, minyak kelapa karena sifatnya yang licin memudahkan jalan lahir, juga air kelapa muda karena nampak bersih dan bening, diasosiasikan dengan anak akan cantik dan akan mempunyai kulit yang bersih setelah lahir (Irwan, 2003).
Berpantangan makanan akan menghambat intake bahan makanan kaya gizi pada ibu hamil. Hal inilah yang dapat menimbulkan risiko berkembangnya masalah gizi pada periode dimana ibu hamil membutuhkan zat gizi tinggi. Studi yang dilakukan Irwan dalam Sani (2008) menemukan bahwa ibu hamil yang berpantang makanan yang digolongkan hewani memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap tingginya kejadian anemia pada ibu hamil.

Selasa, 11 Januari 2011

KONDISI SOSIAL BUDAYA BERPANTANG MAKANAN DAN IMPLIKASINYA PADA KEJADIAN ANEMIA IBU HAMIL (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT PESISIR ABELI KOTA KENDARI)

Abstrak
Hartati Bahar. Kondisi sosial budaya berpantang makanan dan implikasinya pada kejadian anemia ibu hamil (Studi kasus pada masyarakat pesisir Wilayah Kerja
Puskesmas Abeli di Kota Kendari) Tahun 2010


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor sosial budaya ibu hamil anemia dalam berpantang makan pada masyarakat pesisir wilayah kerja Puskesmas Abeli di Kota Kendari. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Cara mendapatkan informasi melalui Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam dan observasi lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat kepercayaan berpantang makan yang kaya akan zat besi meliputi golongan hewani, nabati, dan gabungan keduanya disamping terdapat juga makanan yang dianjurkan dikonsumsi yang berasal dari golongan nabati. Berpantang makan golongan hewani yakni cumi-cumi, udang, kepiting, gurita, telur bebek dan beberapa jenis ikan. Golongan nabati meliputi daun kelor, rebung, tebu, sayur terong, nangka dan papaya muda serta beberapa jenis buah-buahan. gabungan keduanya berupa mengurangi porsi makan selama hamil dan pantangan makan di waktu-waktu tertentu.

Kesimpulan penelitian ini adalah aspek sosial budaya yang berperan dalam kejadian anemia adalah kepercayaan berpantang makanan tertentu yang kontribusi terhadap kejadian anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari.


Kata kunci : sosial budaya, anemia.

PENDAHULUAN
Tingginya angka kematian ibu masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia merupakan masalah gizi mikro terbesar dan tersulit di seluruh agenda (Soekirman 2000 dalam Darlina 2003). Sebagian besar anemia pada ibu hamil adalah anemia karena kekurangan zat besi. Saat ini diperkirakan setiap tahun, sekitar 4 juta ibu hamil dan ibu menyusui menderita gangguan anemia yang sebagian besar disebabkan oleh kekurangan zat besi (Bappenas, 2007).
Hasil laporan kemajuan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2007 AKI ibu di Indonesia masih mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup, tertinggi di Asia Tenggara dan anemia berkontribusi terhadap kematian ibu mencapai 50 % hingga 70% (Sukowati, 2007).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Depkes, 2008) Sulawesi Tenggara termasuk Provinsi dengan prevalensi anemia sangat tinggi di Indonesia selain Maluku Utara. Survey terakhir di Kota Kendari yang pernah dilakukan saat masih tergabung dengan Kabupaten Kendari tahun 1993 oleh Puslitbang Gizi Bogor bekerjasama dengan Kanwil Depkes Provinsi Sulawesi Tenggara dan diperoleh hasil bahwa prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil 62,5%. Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Abeli Tahun 2009 menunjukkan prevalensi anemia besi pada ibu hamil masih diatas cut of point anemia yaitu 44,3% (Rahman, 2009). Padahal daerah Abeli merupakan daerah pesisir dan sebahagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan (Profil Kecamatan Abeli, 2009).
Pada masyarakat pesisir di Kecamatan Abeli, konsep anemia ditandai dengan keadaan pucat dengan gejala pusing, lemah/kurang bergairah. Penyebab anemia menurut mereka karena ibu hamil kerja berat dan malas makan. Dianggap sesuatu hal yang wajar sebagai konsekuensi dari setiap kehamilan dan berusaha diatasi sendiri berdasarkan pengalaman dari generasi sebelumnya yaitu cukup dengan mengurut-urut kepala ibu sambil banyak beristirahat. Namun, apabila keadaannya tidak mengalami perubahan, dilanjutkan mencari pertolongan ke dukun dengan jampi-jampi tertentu atau ke tenaga kesehatan.
Walaupun seorang wanita dianggap sehat dan kehamilannya sendiri merupakan hal yang wajar, namun dalam banyak kebudayaan kondisi hamil itu dianggap menempatkan wanita dalam kondisi khusus yang bisa pula mendatangkan bahaya bagi dirinya atau bagi bayi dalam kandungannya. Secara umum adalah lazim adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu menyangkut ibu hamil dan anak yang dikandungnya, sehingga bagi ibu hamil dikenakan banyak keharusan atau larangan tertentu yang berlaku secara turun temurun.
Dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya (Kalangi, 1994). Berdasarkan hal tersebut, pembahasan mengenai kontribusi faktor sosial budaya ibu hamil terhadap kejadian anemia merupakan faktor menarik untuk dikaji khususnya di wilayah kerja Puskesmas Abeli sebagai daerah pesisir yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan.

METODE
Penelitian ini menggunakan ”metode kualitatif” dengan pendekatan studi kasus. Esensi dari penelitian ini adalah mencoba mendapatkan gambaran peran aspek sosial budaya pada pola ibu hamil dalam konsumsi zat besi dan kepercayaan berpantang terhadap makanan tertentu yang berkaitan dengan anemia. Triangulasi metode pengumpulan data adalah focus group discussion (FGD), wawancara mendalam dan observasi terhadap informan sebagai fakta untuk memperkuat analisis.
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purpossive sampling dengan pertimbangan bahwa informan yang dipilih dianggap dapat memberikan informasi secara mendalam tentang perilaku ibu hamil yang berkaitan dengan pola konsumsi makanan tertentu yang berkaitan dengan kejadian anemia .
Peneliti melakukan FGD dan wawancara mendalam secara langsung dengan menggunakan panduan yang telah disusun sebelumnya. Peserta FGD terdiri atas dua kelompok pada dua kelurahan dengan jumlah 16 orang. Peserta FGD terdiri atas ibu hamil, dukun beranak, kader kesehatan, tokoh masyarakat dan bidan desa.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan yang sebelumnya ikut dalam FGD dan juga informan yang sebelumnya tidak mengikuti FGD untuk menggali lebih jauh informasi seputar perilaku ibu hamil dalam pola konsumsi makanan makanan tertentu. Hasil diskusi dan wawancara dicatat dan direkam dengan menggunakan tape recorder.

HASIL
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makanan yang dipantang oleh ibu hamil selama masa kehamilan terdiri atas golongan hewani, golongan nabati dan gabungan dari keduanya (golongan nabati dan hewani).
Makanan yang dipantang ibu hamil dari golongan hewani adalah cumi-cumi, gurita, kepiting, daging, kepiting dan udang yang baru ganti kulit, ikan pari, ikan yang tidak memiliki lidah, ikan yang memiliki banyak duri (terundungan) dan telur bebek. Kepercayaan berpantang makan ini didasarkan atas hubungan asosiatif antara bahan makanan tersebut menurut bentuk atau sifatnya dengan akibat buruk yang akan ditimbulkan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan. Ibu hamil berpantang makan cumi-cumi sebab cumi-cumi berjalan maju mundur diasosiasikan dengan proses melahirkan yang sulit di pintu lahir, bayi akan menyulitkan persalinan dengan maju mundur pada saat proses kelahiran.
Kepiting dilarang karena dikhawatirkan anak akan nakal dan suka menggigit jika besar. Gurita dilarang sebab bersifat lembek diasosiasikan dengan bayi yang juga akan lemah fisiknya seperti gurita. Kepiting dan udang yang baru ganti kulit dilarang sebab bertekstur lembek tidak bertulang diasosiasikan dengan anak yang juga akan lemah tak bertulang jika lahir, begitu juga dengan ikan pari dipantang karena memiliki tulang lembut dipercayai akan menyebabkan bayi juga bertulang lembut, daging dipantang karena dikhawatirkan ibu akan kesulitan melahirkan jika bayinya terlalu sehat, ikan yang bemiliki banyak duri (terundungan) dilarang karena akan menyebabkan perasaan ibu hamil tidak enak dan menimbulkan rasa panas selama kehamilan, telur bebek dipantang karena akan menyulitkan persalinan.
Makanan yang dipantang oleh ibu hamil dari golongan nabati adalah mangga macan, durian, nenas, nangka, sayur rebung, pisang kembar, daun kelor, nangka muda, kelapa muda, pepaya muda, terong dan tebu.
Ibu hamil berpantang makan mangga macan, durian, nenas, dan nangka karena dianggap bersifat panas dikaitkan dengan keyakinan dikotomi panas dingin. Ibu hamil dianggap dalam kondisi dingin sehingga tidak boleh makan makanan yang sifatnya panas sebab dapat menyebabkan keguguran kandungan pada umur kehamilan muda. Kelapa muda dipantang pada awal kehamilan karena dapat mengakibatkan keguguran, rebung dilarang karena dikhawatirkan akan menyebabkan anak memiliki banyak bulu/rambut jika lahir, pisang kembar dipantang diasosiasikan anak juga akan kembar jika lahir, daun kelor dilarang karena mengandung getah yang pedis yang akan menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran dikenal dengan sebutan “getah kelor”, juga karena daun kelor yang berakar diasosiasikan dengan ari-ari bayi yang juga akan berakar.
Ibu hamil berpantang mengkonsumsi nangka muda karena nangka muda juga memiliki getah yang akan menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran. Pepaya muda dipantang karena dapat menyebabkan gatal-gatal pada ibu hamil dan bayi yang ada didalam kandungan. Terong dilarang karena juga dapat mengakibatkan gatal-gatal pada ibu dan bayinya. Tebu dilarang karena akan menyebabkan rasa sakit karena ibu akan mengeluarkan banyak air mendahului proses kelahiran diasosiasikan dengan tebu yang juga mengandung banyak air.
Berpantang makan dari golongan hewani dan nabati berupa: mengurangi porsi makan (kuantitas), pantangan makan sembunyi-sembunyi, dan pantangan makan di waktu-waktu tertentu. Berpantang makan dipiring besar juga disertai tidak boleh makan dengan beberapa piring.
Makan dipiring besar diasosiasikan dengan bayi yang juga akan memiliki ari-ari yang besar dan dapat menyulitkan persalinan. Makan dipiring terpisah diyakini akan mengakibatkan proses melahirkan akan tersendat-sendat. Makan sembunyi-sembunyi saat hamil di yakini akan menyulitkan persalinan dengan keluarnya feses pada saat melahirkan. Makan diwaktu magrib dipantang sebab waktu magrib diasosiasikan dengan waktu keluarnya makhluk halus yang dapat membahayakan kehamilan.
Informasi yang diperoleh dari salah satu tokoh masyarakat (HS, 71 tahun) mengenai pantangan dan larangan selama kehamilan, larangan-larangan dan pemali-pemali banyak ditemui pada suku Bugis, Buton dan Bajo. Khusus pada suku Tolaki kepercayaan dan pantangan-pantangan tersebut sudah jarang ditemukan bahkan tidak ada. Hal ini juga di dukung dengan hasil observasi kepada salah satu ibu hamil dari Suku Tolaki (ER, 32 tahun) yang menyatakan bahwa selama hamil dari anak pertama hingga anak ketiga tidak ada pantangan makan dan pemali yang dianut dan dilaksanakannya.
PEMBAHASAN
Penyebab anemia dalam kehamilan sebenarnya merupakan rangkaian masalah sejak seorang wanita lahir sampai dengan tuanya. Di dalam proses daur hidup ini kehamilan bisa menjadi sebuah tahapan yang menjadi akibat dari proses sebelumnya. Seorang ibu hamil umumnya mengalami anemia, bukan saja karena kehamilannya, tetapi karena anemia yang dibawa sejak usia reproduktif.
Secara umum sebagaimana dinyatakan oleh Adrina dkk (1998) dalam Zaluchu (2007), adalah lazim adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu, menyangkut ibu hamil dan anak yang dikandungnya, sehingga bagi ibu hamil dikenakan banyak keharusan atau larangan tertentu baik yang berhubungan dengan makanan yang boleh atau tidak dikonsumsi termasuk perbuatan yang dianjurkan maupun yang dipantang selama kehamilan.
Masyarakat dimanapun di dunia memiliki kategori-kategori tentang makananan yang dikenalnya dalam lingkungan yang didasarkan atas konsepsi budaya. Dalam kategori makanan itu, bahan-bahan makanan yang dikategorikan sebagai makanan juga termasuk pemahaman tentang makna secara budaya cara mengkonsumsinya maupun kelompok yang mengkonsumsinya.
Kategori makanan bagi wanita hamil berkenaan dengan pandangan budaya tentang makanan yang dianggap baik sehingga harus dikonsumsi maupun yang dianggap dapat memberikan dampak buruk bagi dirinya dan bayi dalam kandungannya sehingga harus dihindari. Makanan yang dianggap baik digolongkan sebagai makanan yang dianjurkan dan makanan yang memberikan dampak buruk digolongkan sebagai makanan yang dipantang.
Makanan pantang adalah bahan makanan yang tidak boleh dimakan oleh ibu hamil dalam masyarakat karena alasan-alasan yang bersifat budaya. Ibu berpantang makan karena sedang mengalami keadaan khusus yaitu kehamilan dan karena dalam kebudayaan setempat terdapat suatu kepercayaan tertentu terhadap bahan makanan tersebut. Kepercayaan ini diajarkan secara turun temurun dan cenderung ditaati walaupun individu yang menjalankannya mungkin tidak terlalu paham atau yakin akan rasional dari alasan-alasan memantang makanan yang bersangkutan dan sekedar mematuhi tradisi setempat.
Aspek sosial budaya yang tercermin pada pengetahuan dan tindakan berpantang makan pada ibu hamil di Kecamatan Abeli terbentuk secara turun-temurun. Pengetahuan ini merupakan bentukan warisan leluhur yang nampak secara tertutup sebagai norma dan nilai yang yakini kebenarannya (covert behavior) juga nampak juga sebagai perilaku dapat diamati dalam bentuk tindakan (overt behavior) yang tercermin pada ketidakmauan ibu hamil dalam mengkonsumsi makanan yang dianggap dapat membahayakan janin dalam kandungannya sekalipun jenis-jenis makanan tersebut banyak terdapat di Wilayah Abeli.
Di Abeli kebiasaan berpantang ini pada dasarnya juga dihubungkan dengan kepatuhan terhadap orang tua, dukun dan kerabat. Bila tidak melaksanakan pantangan atau melanggarnya maka dianggap membangkang dan tidak patuh terhadap orang tua, dapat mendatangkan akibat yang diasosiasikan dengan bentuk dan sifat dari bahan makanan yang dipantang.
Memperhatikan banyaknya variasi makanan yang dipantang diatas, jenis makanan dipantang yang hampir ditemukan pada semua segmen informan adalah cumi-cumi, gurita, kepiting, kepiting dan udang yang baru ganti kulit, ikan yang tidak memiliki lidah, ikan pari, ikan yang memiliki banyak duri (terundungan), mengurangi porsi makan selama hamil, durian, nangka, nenas, dan daun kelor. Sedangkan jenis makanan lainnya jarang ditemukan pada segmen informan.
Jenis ikan dan lauk yang dipantang oleh ibu hamil di Kecamatan Abeli seperti cumi-cumi, gurita, kepiting, kepiting dan udang yang baru ganti kulit, ikan yang tidak memiliki lidah, ikan pari, ikan yang memiliki banyak duri (terundungan) banyak ditemukan di daerah ini mengingat wilayah Kecamatan Abeli merupakan wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal ini juga didukung dengan hasil observasi pada jalan raya utama di sepanjang Kecamatan Abeli banyak terdapat penjual bahan makanan golongan hewani ini. Selanjutnya pantangan dari golongan nabati seperti nenas, nangka, durian tidak selalu ada atau bermusim. Berbeda dengan pohon pisang dan pohon kelor yang banyak tumbuh dan dijumpai di Kecamatan Abeli. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan ditemukan banyak pohon kelor ditanam disekitar pemukiman warga bahkan ada sebagian warga menjadikan pohon kelor sebagai tanaman pagar di halaman rumah mereka.
Jenis makanan yang banyak dipantang dari golongan hewani (cumi, gurita, golongan ikan) termasuk makanan yang mengandung zat besi golongan hem yaitu zat besi yang berasal dari haemoglobin dan mioglobin. Zat besi pada pangan hewani lebih tinggi penyerapannya yaitu 20-30%, sedangkan dari sumber nabati hanya 1-6% (Arief, 2008). Sedang jenis makanan yang banyak dipantang dari golongan nabati seperti daun kelor yang kaya akan zat besi juga beberapa jenis buah yang kaya akan berbagai jenis vitamin yang dibutuhkan untuk membantu penyerapan zat besi didalam tubuh.
Buah pisang mengandung cukup banyak vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C serta memberikan sumbangan mineral cukup berarti seperti kalsium, fosfor, dan zat besi. Buah nenas kaya akan vitamin C yang termasuk kategori unggul, nangka mengandung vitamin C dan vitamin B kompleks juga mengandung mineral esensial yang dibutuhkan tubuh seperti kalsium, fosfor, besi, dan kalium. Durian mengandung vitamin A dan vitamin C, sedangkan vitamin yang banyak terdapat pada mangga adalah vitamin A, vitamin C dan vitamin B kompleks (Astawan, 2009).
Jenis-jenis vitamin tersebut khususnya vitamin A dan vitamin C dibutuhkan untuk mempercepat penyerapan Fe di dalam usus dan memindahkannya ke dalam darah, juga terlibat dalam mobilisasi simpanan Fe terutama hemosiderin dalam limpa (Under 1992 dalam Musni 2009). Beberapa hasil penelitian juga memperkuat hal ini yakni hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2009) menyimpulkan bahwa pemberian vitamin C dan vitamin A secara bersamaan berpengaruh pada suplementasi besi folat terhadap kadar hemoglobin ibu hamil anemia di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.
Telur ayam adalah kapsul alami yang kaya gizi yaitu zat besi, fosfor, kalsium, sodium dan magnesium. Sumber gizi telur lebih banyak pada kuning telurnya dibandingkan dengan yang berwarna putih. Zat besi dan vitamin A telur sebagian besar bahkan seluruhnya terkosentrasi pada kuning telur (Khomzan 2004 dalam Musni 2009) sehingga berpantang telur selama hamil merugikan kesehatan.
Kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan cukup besar pengaruhnya pada kehamilan dan masalah gizi. Pantangan makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentu akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Menurut Subowo (2008) penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.
Penelitian oleh Idrus (1998) pada suku Bajo yang ada di Kabupaten Kendari, terdapat pantangan bagi wanita hamil yakni tidak boleh mengambil makanan dari periuk dengan tangannya, tidak boleh makan dengan menggunakan piring yang besar, dan dilarang makan sayur yang terbuat dari daun kelor. Sebahagian besar pantangan-pantangan ini masih diyakini dan dilaksanakan oleh ibu hamil Suku Bajo yang bermukim di wilayah pesisir Kecamatan Abeli.
Selain itu konsep asosiasi dengan bentuk sifat dari bahan makanan yang dipantang merupakan cerminan dari rasa altruisme seorang ibu terhadap anaknya. Altruisme ini tercermin sebagai perhatian terhadap kesejahteraan jabang bayi yang dikandung tanpa memperhatikan diri sendiri, bagi sebahagian orang tua perilaku ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk menunjukkan rasa sayang kepada janin (calon anak) yang akan dilahirkan tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan yang akan didapatkan.
Sumber pengetahuan berpantang makanan ini berlangsung secara turun temurun yang kebanyakan berasal dari mereka yang dianggap panutan, semisal orang tua atau dukun. Apa yang mereka sebut sebagai ”pengetahuan” itu sebenarnya bukan merupakan pengetahuan yang dipelajari, namun yang didapatkan dalam daur kehidupan sebagai pewarisan kebudayaan mereka. Khusus di Kecamatan Abeli pemeliharaan kesehatan dan cara-cara penanggulangan masalah kehamilan dilakukan dengan menghindari pantangan-pantangan yang diyakini oleh masyarakat dan didasarkan atas sistem kepercayaan yang berlaku secara turun-temurun sebagai pewarisan kebudayaan.
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga, teman sepermainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).
Pantangan atau larangan makan dalam proses kehamilan sangat mempengaruhi kecukupan zat gizi pada ibu hamil, padahal seorang ibu yang sedang hamil seharusnya terpenuhi kecukupan gizinya untuk kepentingan dirinya sendiri dan janin yang sedang dikandungnya. Ibu hamil yang masih secara konsisten berpantang makan banyak ditemukan pada ibu hamil dengan gejala anemia. Selain kebiasaan berpantang makan, ditemukan juga beberapa ibu hamil yang tidak melaksanakan pantangan tersebut. Hal ini dapat dijadikan acuan walaupun masih memerlukan pembuktian lebih lanjut bahwa ibu hamil yang masih konsisten berpantang makan mempunyai kontribusi terhadap kejadian anemia.
Wilayah Abeli sebagian besar adalah wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan namun kurang mendayagunakan sumber-sumber hasil laut sebahai bahan konsumsi makanan bernilai gizi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa faktor nilai dan norma dalam sosial budaya yang berkaitan dengan kepercayaan tertentu terhadap makanan mempunyai relasi dengan kejadian anemia pada ibu hamil di Kecamatan Abeli Kota Kendari Tahun 2010. Perilaku berpantang makan makanan ini meliputi berpantang makan golongan hewani yakni cumi-cumi, udang, kepiting, gurita, telur bebek dan beberapa jenis ikan. Golongan nabati meliputi daun kelor, rebung, tebu, sayur terong, nangka dan papaya muda serta beberapa jenis buah-buahan. gabungan keduanya berupa mengurangi porsi makan selama hamil dan pantangan makan di waktu-waktu tertentu.

SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan makanan golongan hewani yang banyak terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Abeli dikonsumsi oleh ibu hamil karena merupakan bahan pangan sumber utama zat besi dan lebih dari dua kali lebih mudah diserap dibandingkan dengan sumber nabati, begitu juga agar daun kelor yang banyak terdapat di wilayah pesisir Kecamatan abeli beserta sayuran hijau lainnya untuk dikonsumsi oleh ibu hamil karena jenis sayuran tersebut selain mengandung zat besi juga mengandung vitamin yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi seperti vitamin C dan vitamin A.
Disarankan pula bagi tenaga kesehatan agar memberikan informasi kepada setiap ibu hamil akan bahaya anemia selama kehamilan kemudian diharapkan lebih mendayagunakan sumber-sumber hasil laut sebahai bahan konsumsi makanan bernilai gizi tinggi dengan pendidikan kesehatan tentang khasiat sumber-sumber makanan laut melalui Posyandu dan melalui media televisi lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Arief Nurhaeni, 2008, Kehamilan dan Kelahiran Sehat, Dian Loka, Yogyakarta.

Astawan Made, 2009, Ensiklopedia Gizi Pangan Untuk Keluarga, Dian Rakyat, Jakarta.

Bappenas, 2007, Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2006– 2010, Jakarta. ISBN 978-979-3764-27-6.

Darlina dan Hardinsyah, 2003, Faktor Risiko Anemia Pada Ibu Hamil di Kota Bogor, Media Gizi dan Keluarga Vol. 27 No.2.

Depkes RI, 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007.

Dinkes Sultra, 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2007.

Dinkes Kota Kendari, 2008. Profil Kesehatan Kota Kendari Tahun 2007.

Dinkes Kota Kendari, 2009. Profil Puskesmas Abeli Tahun 2008

Herimanto dan Winarno, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta.

Idrus Muhammad M, 1998, Pengobatan, Kehamilan, Dan Kelahiran Pada Orang Bajo Di Lasolo, Kabupaten Kendari, dalam Meutia F swasono ” Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu Dan Bayi Dalam Konteks Budaya”. UI-Press: Jakarta.

Kalangi Nico S, 2004, Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosial Budaya, Megapoin, Jakarta.

Rahman, Asdar, 2009. Analisis Determinan Kejadian Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil Diwilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari, Skripsi IKM Unhalu Kendari.

Subowo Ari, 2008, Kinerja Pembangunan Kesehatan : Tinjauan Disparitas Pelayanan Kesehatan Ibu Dan Anak , “DIALOGUE” Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol. 5, No. 2 : 155-166

Zaluchu Fotarisman, 2007, Faktor Sosio-psikologi Masyarakat Yang Berhubungan Dengan Anemia Ibu Hamil di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara (11–18), Info Kesehatan Masyarakat Vol. XI, No.1: 11-18, ISSN 1410-6434

Senin, 10 Januari 2011

Upaya pengembangan PROMOSI KESEHATAN pada institusi melalui USAHA KESEHATAN SEKOLAH (UKS)

Istilah promosi kesehatan sebenarnya sudah lama dikenal melalui upaya kesehatan menyeluruh yakni kesatuan istilah promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pengertian promosi kesehatan adalah proses memandirikan masyarakat agar dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan, serta pengembangan lingkungan sehat.
Promosi kesehatan mencakup aspek perilaku, yaitu upaya mendorong dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Disamping itu promosi kesehatan juga mencakup berbagai aspek khususnya yang berkaitan dengan aspek lingkungan atau suasana yang mempengaruhi perkembangan perilaku yang berkaitan dengan aspek sosial budaya, pendidikan, ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan.
Promosi kesehatan memiliki 5 (lima) area ruang lingkup yakni mengembangkan kebijaksanaan pembangunan berwawasan kesehatan, mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana yang mendukung, memperkuat kegiatan masyarakat, meningkatkan keterampilan perorangan dan mengarahkan pelayanan kesehatan yang lebih memberdayakan masyarakat.
Kualitas sumber daya manusia sebagai unsur pokok dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh dua faktor yang saling berhubungan, berkaitan dan saling bergantung, yaitu pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan prasyarat utama agar upaya pendidikan berhasil, sebaliknya pendidikan yang diperoleh akan sangat mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan seseorang. Oleh karena itu, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dengan titik berat pada upaya promotif dan preventif, di dukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas, menjadi sangat penting dan strategis untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Usaha Kesehatan Sekolah yang dimaksud akan melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan sekolah, menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dan aman, memberikan pendidikan kesehatan di sekolah, memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan, serta ada kebijakan dan upaya sekolah untuk mempromosikan kesehatan dan berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
Karena masalah kesehatan yang dihadapi oleh anak usia sekolah dan remaja sangat kompleks maka upaya kesehatan sekolah yang dilakukan juga bervariasi. Misalnya pada anak SD berkaitan sengan kebersihan perorangan dan lingkungan, untuk SLTP dan SMU (remaja) berkaitan dengan perilaku berisiko seperti free sex, penyalahgunaan narkoba, kecelakaan, infeksi menular seksual termasuk HIV AIDS, dll.
UKS dapat digunakan sebagai wadah yang digunakan untuk berbagai program kesehatan seperti kesehatan ibu dan anak, gizi, pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan, pengobatan, penyuluhan dan upaya kesehatan lainnya untuk mempercepat tercapainya tujuan promosi kesehatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UKS merupakan wadah promosi kesehatan untuk melakukan upaya promotif, preventif mencakup penyakit yang disebabkan oleh perilaku dan lingkungan di sekolah. Upaya UKS ini harus memperoleh dukungan dari institusi kesehatan dan dukungan kebijakan maupun sumberdaya dari berbagai pihak yang terkait. Berikut ini gambaran upaya pelaksanaan promosi kesehatan melalui UKS yang dilaksanakan pada tingkat Sekolah Dasar (SD) :
1. Pendidikan kesehatan, meliputi penyuluhan kesehatan, termasuk pelatihan guru UKS, termasuk pelatihan dokter kecil.
2. Pelayanan kesehatan, meliputi pemeriksaan siswa secara berkala (TB, BB), pemeriksaan gigi, golongan darah, pengobatan ringan, dll.
3. Pembinaan lingkungan sehat, meliputi pemberantasan sarang nyamuk, melakukan 3M, dan mengadakan kebersihan secara massal pada hari-hari tertentu.
4. Penyediaan ruangan khusus untuk UKS, yang di lengkapi tempat tidur, alat-alat kesehatan, media komunikasi kesehatan (poster, leaflet, selebaran yang berkaitan dengan anjuran atau peringatan yang berkaitan dengan kesehatan).
5. Melatih secara khusus ‘Dokter Kecil’ yang merupakan kader kesehatan dan pemacu kesehatan teman-temannya untuk mengetahui betapa penting kesehatan. kegiatan-kegiatan dokter kecil antara lain :
a. Melakukan penimbangan BB dan pengukuran TB teman-temannya.
b. Membimbing sikat gigi massal
c. Memeriksa kuku dan gigi teman-temannya
d. Memeriksa kebersihan ruangan kelas
e. Memeriksa jentik-jentik nyamuk
f. Mendorong terciptanya lingkungan sehat dengan kerja bakti
6. Memanfaatkan pekarangan sekolah dengan penanaman obat keluarga, sekaligus sebagai media pengenalan kepada para siswa tentang contoh-contoh obat tradisional yang bermanfaat bagi kesehatan, antar lain : kunyit, jahe, kencur, lengkuas, dll.
7. Guru UKS merupakan ujung tombak dalam menggerakkan kegiatan UKS maka perlu diadakan pelatihan guru UKS.
Program ini perlu mendapatkan dukungan berbagai pihak untuk berperan dalam melakukan pembinaan terhadap sekolah yang melaksanakan UKS, seperti Dinas Kesehatan melalui Puskesmas, Dinas Pendidikan, Dinas Pertanian, Depag, serta yang terpenting adalah dukungan dari pihak sekolah, yaitu kepala sekolah, guru-guru, komite sekolah, para orang tua murid, dan para siswa.






Berikut tatanan promosi kesehatan menurut sasaran pada program UKS :

Sasaran Institusi Pendidikan (SD)
Primer • Sasaran yang diharapkan mau berprilaku seperti yang diharapkan dan memperoleh manfaat paling besar dari perubahan perilaku yang diharapkan dalam hal ini siswa-siswi SD
Sekunder • Sasaran sekunder adalah individu atau kelompok yang berpengaruh atau disegani oleh sasaran primer. Mereka diharapkan mampu mendukung pesan-pesan yang diharapkan dalam hal ini guru, komite Sekolah, dan orang tua murid.
Tersier • Sasaran ini adalah para pengambil keputusan, dan pihak-pihak yang berpengaruh pada berbagai tingkatan dalam hal ini kepala sekolah, dan instansi terkait (Puskesmas, Dinkes, Diknas, Deptan, dan Depag)

Dalam pelaksanaan program UKS ini, diharapkan akan terbentuk pola pikir anak didik yang terbiasa dengan pola hidup bersih dan sehat, dengan selalu memperhatikan kebersihan lingkungan sekolah (halaman sekolah, kelas, dan fasilitas-fasilitas lainnya yang ada di sekolah), kebersihan pribadi (cuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah BAB) melakukan penghijauan dan memanfaatkan fasilitas kantin yang menyediakan makanan jajanan yang bersih dan sehat. Selain itu agar program ini dapat berjalan dengan baik kesepamahaman antar pihak sekolah, komite sekolah, orang tua murid, dan berbagai pihak diharapkan akan terus terjalin.

Rujukan :
Depkes RI, 2005, Pembelajaran Model Promosi Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta

Depkes RI, 2002, Metode dan Teknik Promosi Kesehatan Dalam Pemberdayaan Keluarga, Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

Notoatmodjo Soekidjo, 2005, Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.

Notoatmodjo Soekidjo, 2007, Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta.

KONSEP EMIK GEJALA ANEMIA PADA IBU HAMIL (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT PESISIR WILAYAH KERJA PUSKESMAS ABELI DI KOTA KENDARI) TAHUN 2010


Abstrak
Hartati Bahar. Konsep emik gejala anemia pada ibu hamil (studi kasus pada masyarakat pesisir wilayah kerja Puskesmas abeli di kota kendari) Tahun 2010


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep emik gejala anemia ibu hamil pada masyarakat pesisir wilayah kerja Puskesmas Abeli di Kota Kendari. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Cara mendapatkan informasi melalui Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam dan observasi lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan konsep anemia ditandai dengan keadaan pucat dengan gejala pusing, lemah/kurang bergairah, Ibu hamil merasa loyo, ingin tidur terus, malas jalan, dan malas makan. Gejala-gejala ini dianggap sesuatu hal yang wajar sebagai konsekuensi dari setiap kehamilan dan berusaha diatasi sendiri berdasarkan pengalaman dari generasi sebelumnya yang dilakukan secara turun temurun. Namun, apabila keadaannya tidak mengalami perubahan, selanjutnya mencari pertolongan ke dukun dengan jampi-jampi tertentu atau ke tenaga kesehatan.

Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa konsep anemia yang diperoleh ibu hamil diperoleh melalui berdasarkan pengalaman dari generasi sebelumnya dan dianggap wajar selama masa kehamilan.


Kata kunci : konsep emik, anemia.



PENDAHULUAN
Tingginya angka kematian ibu masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia merupakan masalah gizi mikro terbesar dan tersulit di seluruh agenda (Soekirman 2000 dalam Darlina 2003). Sebagian besar anemia pada ibu hamil adalah anemia karena kekurangan zat besi. Saat ini diperkirakan setiap tahun, sekitar 4 juta ibu hamil dan ibu menyusui menderita gangguan anemia yang sebagian besar disebabkan oleh kekurangan zat besi (Bappenas, 2007).
Hasil laporan kemajuan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2007 AKI ibu di Indonesia masih mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup, tertinggi di Asia Tenggara dan anemia berkontribusi terhadap kematian ibu mencapai 50 % hingga 70% (Sukowati, 2007).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Depkes, 2008) Sulawesi Tenggara termasuk Provinsi dengan prevalensi anemia sangat tinggi di Indonesia selain Maluku Utara. Survey terakhir di Kota Kendari yang pernah dilakukan saat masih tergabung dengan Kabupaten Kendari tahun 1993 oleh Puslitbang Gizi Bogor bekerjasama dengan Kanwil Depkes Provinsi Sulawesi Tenggara dan diperoleh hasil bahwa prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil 62,5%. Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Abeli Tahun 2009 menunjukkan prevalensi anemia besi pada ibu hamil masih diatas cut of point anemia yaitu 44,3% (Rahman, 2009). Padahal daerah Abeli merupakan daerah pesisir dan sebahagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan (Profil Kecamatan Abeli, 2009).
Pada masyarakat pesisir di Kecamatan Abeli, konsep anemia ditandai dengan keadaan pucat dengan gejala pusing, lemah/kurang bergairah. Penyebab anemia menurut mereka karena ibu hamil kerja berat dan malas makan. Dianggap sesuatu hal yang wajar sebagai konsekuensi dari setiap kehamilan dan berusaha diatasi sendiri berdasarkan pengalaman dari generasi sebelumnya yaitu cukup dengan mengurut-urut kepala ibu sambil banyak beristirahat. Namun, apabila keadaannya tidak mengalami perubahan, dilanjutkan mencari pertolongan ke dukun dengan jampi-jampi tertentu atau ke tenaga kesehatan.
Walaupun seorang wanita dianggap sehat dan kehamilannya sendiri merupakan hal yang wajar, namun dalam banyak kebudayaan kondisi hamil itu dianggap menempatkan wanita dalam kondisi khusus yang bisa pula mendatangkan bahaya bagi dirinya atau bagi bayi dalam kandungannya.
Dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya (Kalangi, 1994). Berdasarkan hal tersebut, pembahasan mengenai konsep emik gejala anemia merupakan faktor menarik untuk dikaji khususnya di wilayah kerja Puskesmas Abeli sebagai daerah pesisir yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan.

METODE
Penelitian ini menggunakan ”metode kualitatif” dengan pendekatan studi kasus. Esensi dari penelitian ini adalah mencoba mendapatkan gambaran tentang konsep emik gejala anemia pada masyarakat pesisir Abeli. Triangulasi metode pengumpulan data adalah focus group discussion (FGD), wawancara mendalam dan observasi terhadap informan sebagai fakta untuk memperkuat analisis.
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purpossive sampling dengan pertimbangan bahwa informan yang dipilih dianggap dapat memberikan informasi secara mendalam tentang perilaku ibu hamil yang berkaitan dengan pola konsumsi makanan tertentu yang berkaitan dengan kejadian anemia .
Peneliti melakukan FGD dan wawancara mendalam secara langsung dengan menggunakan panduan yang telah disusun sebelumnya. Peserta FGD terdiri atas dua kelompok pada dua kelurahan dengan jumlah 16 orang. Peserta FGD terdiri atas ibu hamil, dukun beranak, kader kesehatan, tokoh masyarakat dan bidan desa.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan yang sebelumnya ikut dalam FGD dan juga informan yang sebelumnya tidak mengikuti FGD untuk menggali lebih jauh informasi seputar konsep emik gejala anemia. Hasil diskusi dan wawancara dicatat dan direkam dengan menggunakan tape recorder.

HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil dalam menginterpretasikan masalah kesehatannya sendiri yang ada kaitannya dengan kehamilan, berdasarkan atas gejala atau rasa sakit yang mereka alami. Ada informan yang beranggapan jika gangguan kesehatan selama hamil adalah suatu hal yang wajar, ada juga yang mengalami gejala atau rasa sakit selama hamil jika masih dalam taraf ringan mereka berusaha mengatasi sendiri. Jika usaha tersebut ternyata tidak berhasil, mereka berusaha mencari pertolongan pelayanan kesehatan pada sektor yang lain yaitu sektor tradisional dan sektor professional
Masalah kesehatan tersebut dibagi atas gejala anemia dan gejala lain sesuai dengan penafsiran (label) yang mereka berikan. Adapun label dari gejala anemia yang ditemukan adalah : (1). Ibu hamil merasa pusing-pusing, cara mengatasinya dengan banyak mengkonsumsi sayur-sayuran seperti bayam, kacang panjang mengkonsumsi susu, air teh dan air kelapa muda, ada juga yang mengatasinya dengan mengunjungi dukun dan mendapatkan pengobatan dengan minum air yang dibuatkan oleh dukun, (2). Ibu hamil merasa loyo, ingin tidur terus, malas jalan, malas makan cara mengatasinya dengan tidak mengikutkan rasa malas, ada juga yang mengunjungi tenaga kesehatan ke bidan atau ke Posyandu, (3). Perasaan lemah, kurang nafsu makan cara mengatasinya dengan beristirahat atau ke Posyandu, (4). Ibu hamil merasa sakit pinggang cara mengatasinya dengan beristirahat yang cukup, ke bidan atau ke posyandu.
Hal ini dapat kita simak dari cuplikan hasil wawancara mendalam terhadap berbagai informan sebagai berikut :

“… sering pusing-pusing kepala, klo kita pusing-pusing itu kurang darah. cara mengatasinya banyak makan sayur bayam, kacang panjang dan minum susu…”
(FR, 17 tahun, Bumil 7 bulan)

“… pusing-pusing dan sakit pinggang itu sudah lumrahmi kalo kita hamil jadi istirahat saja…”
(RZ, 19 Tahun, Bumil 7 bulan)

“…biasa saya pusing datang-datangan, pucat, kurang nafsu makan oleng-oleng, biasa saya baring-baringkan saja…”
(LS, 29 tahun, Bumil 7 bulan)

“…saya itu selama hamil sampai sekarang masih sakit pusing-pusing, pengaruhnya memang selama hamil. Itu dukunku saya tanya memang katanya begitu pengaruhnya janin, biasanya saya minum susu, air teh, air kelapa, biasa juga ke dukun dia bikinkan air-air untuk diminum…”
(KN, 22 tahun, Bumil 8 bulan)

“…pusing, loyo, tidak bisa bergerak maunya tidur terus, tidak mau jalan, malas makan. Biasanya ke Bidan atau Posyandu…”
(LN, 17 tahun, Bumil 5 bulan)

“…saya oleng-oleng saya tidak tahu penyebabnya, saya tidak bisa berdiri, ta putar mata, saya baringkan saja istirahat. Biar saya malas sa tidak ikutkan, saya pusing-pusing, tegang leher saya tidak hiraukan pokoknya saya usahakan bekerja saya lawan…”
(AI, 40 thn, Bumil 9 bulan)

“…anemia itu kurang darah, saya rasa sakit-sakit pinggangku klo mulai baring sakit, biasa saya dikasi obat penambah darah di Posyandu, saya minum tapi tidak sering saya minum karena rasanya beh, saya minum tidak teratur jarang-jarang biasa saya habis minum lain-lain mau mual-mual dihentikan lagi...”
(RM, 23 tahun, Bumil 9 bulan)

Cara mengatasi sendiri gangguan kesehatan tersebut diatas diperoleh dari keluarga, dukun, dan tetangga. Bila tidak berhasil lalu mereka mencari pelayanan kesehatan pada dukun atau tenaga medis. Ada dilakukan secara berjenjang yaitu mengobati sendiri-dukun-tenaga medis, adapula dilakukan secara bersamaan antara dukun dan tenaga medis, serta adapula yang langsung ke tenaga medis tanpa melalui dukun terlebih dahulu.

PEMBAHASAN
Kepercayaan tradisional sebagai cerminan dari nilai-nilai sosial budaya merupakan bentuk dari respon sosial budaya dan jika hal tersebut dikaitkan dengan suatu kondisi kehamilan seseorang, maka akan nampak jelas pengaruhnya dalam kehidupan keseharian ibu hamil tersebut.
Sumber pengetahuan konsep anemia ini berlangsung secara turun temurun yang kebanyakan berasal dari mereka yang dianggap panutan, semisal orang tua atau dukun. Apa yang mereka sebut sebagai ”pengetahuan” itu sebenarnya bukan merupakan pengetahuan yang dipelajari, namun yang didapatkan dalam daur kehidupan sebagai pewarisan kebudayaan mereka.
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga, teman sepermainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).
Khusus di Kecamatan Abeli pemeliharaan kesehatan dan cara-cara penanggulangan masalah kehamilan dalam hal ini gejala anemia dilakukan dengan melaksanakan anjuran dan menghindari pantangan-pantangan yang diyakini oleh masyarakat dan didasarkan atas sistem kepercayaan dapat mengatasi anemia yang berlaku secara turun-temurun sebagai pewarisan kebudayaan.
Ibu hamil membutuhkan makanan yang bergizi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk memenuhi kandungan nutrisi bagi janin yang dikandungnya. Selama kehamilan kebutuhan zat besi ibu hamil meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan, namun karena berbagai tahayul, kepercayaan mengenai kesehatan, dan suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan maka bisa saja dilakukan pengabaian terhadap hal-hal penting yang seharusnya dilakukan selama kehamilan.
Hal lain yang ditemukan adalah kehamilan oleh masyarakat dan kemudian ibu hamil sendiri, dianggap sebagai sebuah proses biasa dalam daur kehidupan, padahal, kehamilan adalah proses penting. Karena itulah, banyak diabaikan hal-hal penting untuk perawatan kehamilan yang seharusnya menjadi fokus perhatian. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2003) yang menunjukkan selama masa kehamilan, wanita di Bogor Jabar jarang memeriksakan diri ke Puskesmas dengan alasan tidak ada keluhan, sangat erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat bahwa kehamilan adalah proses alamiah yang tidak perlu dirisaukan termasuk dalam hal ini anemia dan gejala-gejalanya.
Di Kecamatan Abeli cara mengatasi gejala anemia atau gejala lain atau rasa sakit yang dirasakan yang berhubungan dengan kehamilan berdasarkan atas label dari gangguan kesehatan yang mereka rasakan, label gangguan kesehatan yang dimaksud adalah :
1. Ibu hamil merasa pusing-pusing, cara mengatasinya dengan banyak mengkonsumsi sayur-sayuran seperti bayam, terung, kacang panjang mengkonsumsi susu, air teh dan air kelapa muda.
2. Ibu hamil merasa loyo, ingin tidur terus, malas jalan, malas makan cara mengatasinya dengan tidak mengikutkan rasa malas, berusaha melakukan berbagai pekerjaan untuk melawan rasa malas.
3. Ibu hamil merasa sakit pinggang, menganggap hal yang wajar selama kehamilan dan cara mengatasinya dengan beristirahat.
Cara mengatasi anemia yang dilakukan oleh ibu hamil berdasarkan gejala yang mereka rasakan yang paling baik adalah dengan memperbanyak mengkonsumsi sayuran hijau daun yang paling banyak mengandung zat besi (Fe). Zat besi dapat meningkatkan jumlah sel darah merah yang sangat dibutuhkan oleh ibu hamil.
Fenomena lain yang lebih menarik adalah ditemukan sebahagian ibu hamil yang mendapatkan suplemen zat besi (tablet Fe), tetapi mereka tidak memakannya dengan alasan utama dapat memperbesar anak dalam kandungan sehingga akan menyulitkan proses persalinan, sedangkan alasan lain karena memiliki bau yang tidak enak, dan menimbulkan perasaan tidak enak serta mual-mual sehingga ibu hamil menghentikan konsumsi tablet Fe. Alasan utama bahwa tablet Fe dapat menyebabkan bayi besar diperoleh melalui kepercayaan dari orang tua dan nenek-nenek mereka sehingga menimbulkan ketakutan terhadap akibat yang akan ditimbulkan. Padahal banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian tablet besi pada ibu hamil dapat menaikkan kadar Hb ibu hamil.
Penelitian Taslim dkk (2005) di Kab Takalar Sulsel menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar hemoglobin yang bermakna pada ibu hamil yang diberikan tablet besi. Penelitian lain yang dilakukan di Sibolga Sumut bahkan menunjukkan konsumsi tablet besi merupakan faktor yang paling dominan terhadap peningkatan kadar hemoglobin pada ibu hamil (Simanjuntak, 2005), begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (2006) di Surabaya menunjukkan bahwa ada hubungan antara keteraturan konsumsi tablet Fe dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
Prilaku ibu hamil yang mendapatkan suplemen tablet besi (Fe) tetapi tidak mengkonsumsinya ataupun mengkonsumsinya tetapi tidak teratur diduga memiliki kontribusi terhadap kejadian anemia di Kecamatan Abeli Kota Kendari. Hal ini didukung dengan pencapaian cakupan tablet Fe Bumil di wilayah kerja Puskesmas Abeli yang hanya mencakup 50 % dari target 82 % (Profil Puskesmas Abeli, 2008).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa gejala anemia yang dirasakan oleh ibu hamil dianggap sebagai hal yang biasa, wajar dan alamiah selama kehamilan. Sumber pengetahuan konsep anemia ini berlangsung secara turun temurun yang kebanyakan berasal dari mereka yang dianggap panutan, semisal orang tua atau dukun

SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan bagi tenaga kesehatan agar memberikan informasi kepada setiap ibu hamil akan bahaya anemia selama kehamilan kemudian diharapkan lebih mendayagunakan sumber-sumber hasil laut sebahai bahan konsumsi makanan bernilai gizi tinggi juga perlunya pendidikan kesehatan tentang khasiat tablet besi selama kehamilan sebagai salah satu bentuk pencegahan anemia pada ibu hamil.

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas, 2007, Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2006– 2010, Jakarta. ISBN 978-979-3764-27-6.

Darlina dan Hardinsyah, 2003, Faktor Risiko Anemia Pada Ibu Hamil di Kota Bogor, Media Gizi dan Keluarga Vol. 27 No.2.

Depkes RI, 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007.

Depkes RI, 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008.

Dinkes Sultra, 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2007.

Dinkes Kota Kendari, 2008. Profil Kesehatan Kota Kendari Tahun 2007.

Dinkes Kota Kendari, 2009. Profil Puskesmas Abeli Tahun 2008

Herimanto dan Winarno, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta.

Kalangi Nico S, 2004, Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosial Budaya, Megapoin, Jakarta.

Rahman, Asdar, 2009. Analisis Determinan Kejadian Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil Diwilayah Kerja Puskesmas Abeli Kota Kendari, Skripsi IKM Unhalu Kendari.

Savitri Nita, 2003, Memasyarakatkan Kesehatan Reproduksi Wanita, (Studi Antropologis : Di Desa Cilendek Barat, Kotamadya Bogor Propinsi Jawa Barat), USU e-Repository

Simanjuntak Swandi, 2005, Hubungan Faktor Risiko Dengan Kejadian Anemia Sebagai Alternatif Penanggulangan Anemia Ibu Hamil di Kota Sibolga, e-USU Repository Universitas Sumatera Utara.

Sulasmi, 2006. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester II (Studi Di Kec. Sawahan Kota Surabaya), ADLN Digital Collection Airlangga University Library.

Taslim NA, 2005, Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Dan Tablet Besi Terhadap Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Yang Menderita Kurang Energi Kronik, Jurnal Med Nus, Vol.26, No.1

United Nation, Laporan Tujuan Pembangunan Milenium 2008, http://www.targetmdgs.org/download/MDGreport2008En.pdf.

United Nation, 2007, Kita Suarakan Millennium Development GoalsDemi Pencapaiannya Di Indonesia MDGs 2007/2008, Jakarta, UNDP