Komisi Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) di tahun
2012 mengungkap bahwa ada 62,7 % remaja SMP/SMA mengaku telah melakukan
hubungan seks pranikah alias sudah tidak perawan. KOMNAS-PA juga mengungkap
bahwa 21,2 % dari siswi-siswi tersebut mengaku telah melakukan aborsi. Data
yang sungguh mencengangkan. Kita mungkin bertanya-tanya apakah data ini valid
dan bisa dipercaya? Karena jika benar demikian, maka lebih dari setengah
siswa-siswi SMP/SMA sudah terjebak pergaulan bebas.
Data ini sebenarnya merupakan gambaran perilaku
remaja yang ada disekitar kita. Tak bisa
dipungkiri bahwa perilaku seks bebas sudah menjadi gaya hidup mereka. Ditengah arus
informasi yang begitu terbuka, remaja terjebak perilaku hedonism (pandangan
bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia), remaja
berlomba-lomba mencari kesenangan tanpa memikirkan dampak buruk yang mungkin
timbul di kemudian hari karena perilaku tak bertanggungjawab mereka. Pergaulan bebas
yang dulu identik dengan remaja di kota besar saat ini telah mewabah hingga ke pelosok
daerah. Begitu juga dengan kota kami ini yang terkenal dengan semboyan “Kota
Bertakwa’. Kota kami yang terletak di
ujung tenggara pulau sulawesi tak jauh berbeda. Kita masih teringat dengan jelas
berita di TV Lokal beberapa waktu yang lalu tentang ditemukannya mayat bayi
baru lahir yang di buang di dalam tas hitam di Kendari Beach, atau berita
ditemukannya mayat seorang mahasiswi berbadan dua yang tewas mengenaskan, belum
lagi terdeteksinya satu orang remaja SMU yang terinfeksi virus HIV-AIDS. Sungguh fakta-fakta yang
memilukan dan memprihatinkan.
Ahh, mungkin sebagian dari kita meragukan data
yang dilansir KOMNAS-PA bahwa sebagian besar siswa SMP-SMA sudah pernah
melakukan hubungan seks pranikah tapi mari membuka mata mencermati perilaku
remaja disekitar kita, jujur kita harus mengakui bahwa fakta-fakta tersebut
benar adanya. Saat ini perilaku ‘gaul bebas’ telah mengancam kesehatan fisik,
mental, sosial, ekonomi dan spritual remaja. Bukan hanya Aborsi dan penyakit
Infeksi Menular Seksual (termasuk HIV AIDS) yang mengancam mereka, bahkan
tindakan kriminal semisal ‘pembunuhan’ juga bisa saja mereka lakukan disaat tak
menemukan jalan keluar dan tak sanggup menanggung beban akibat perilaku bebas
mereka. Bukankah data-data ini bagai fenomena gunung es?! Jumlah yang tidak
terekspose tentu lebih banyak lagi.
Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah mengapa
bisa bayi baru lahir yang tak berdosa dibunuh dan dibuang oleh orang tuanya?
Mengapa remaja-remaja tadi bisa aborsi? Mengapa mereka bisa mengalami Kehamilan
Tak Diinginkan (KTD)? Kenapa mereka bisa melakukan seks pranikah? Jawabannya hanya
satu, karena remaja itu telah melakukan aktifitas khusus menjalin hubungan
spesial antara laki-laki dan perempuan yang familiar dikenal dengan istilah
PACARAN. Mereka bisa tergelincir dalam perilaku berisiko tersebut karena buah dari
berpacaran. Jadi ringkasnya pacaran adalah pintunya bergaul bebas.
Remaja secara psikologis masih mencari jati diri,
labil, dan penuh coba-coba. Disisi lain tidak semua remaja mendapatkan
informasi kesehatan reproduksi yang benar dan tidak semua mampu mengakses
sumber informasi kesehatan dengan baik, ditambah lagi kontrol sosial (kontrol
masyarakat) yang rendah, budaya individualistik begitu meraja, hanya sedikit
dari kita yang mau dan mampu menjadi pengontrol sosial untuk orang-orang
disekitar kita, belum lagi aturan yang juga tidak tegas sehingga makin
menjamurlah perilaku bergaul bebas ini.
Sebagai pemerhati anak dan remaja kita tentu prihatin
dengan kondisi ini (pacaran yang berujung pergaulan bebas). Masalah ‘pergaulan
bebas’ ibarat gajah dipelupuk mata. Di akhir tahun lalu Kemenkes melansir
Indonesia adalah negara dengan penyebaran HIV AIDS tercepat di ASEAN. Sebagai
faktor risiko HIV AIDS, perilaku ‘bergaul bebas’ tentu berkorelasi positif
dengan prestasi Indonesia ini. Rumusnya
sederhana semakin marak ‘pacaran=gaul bebas’ maka semakin berpotensi menyebarkan ‘HIV AIDS’.
Kita tentu prihatin, tetapi prihatin saja tidak cukup.
Bentuk keprihatinan harus dibarengi dengan wujud perilaku nyata. Mengutip
ungkapan KPA terkait pornografi dan kekerasan seksual pada anak; jika tidak
berbuat sesuatu kita akan menuai ‘panen raya’ buah pornografi. Sama saja, jika
tidak berbuat sesuatu kita akan menuai ‘panen raya’ buah pergaulan bebas. Banyak hal yang menjadi PR kita; 1). Remaja
butuh dicerdaskan tentang risiko dan bahaya pergulan bebas, kematangan
fisiologis harus dibarengi kematangan psikologis. Pendidikan kesehatan yang baik dan benar
harus bisa terakses oleh mereka, remaja harus bisa mandiri menentukan pilihan
untuk kesehatan mereka tentu dengan landasan pengetahuan yang baik, pengetahuan
yang benar untuk membangun kesehatan holistik; fisik, mental, sosial, ekonomi,
dan spiritual. Jika konsep sehat paripurnah dengan lima aspek ini sudah bisa
dipahami oleh remaja, maka pilihan ‘bergaul sehat’ bisa diwujudkan. 2). Kontrol Masyarakat harus berjalan. Bukan
saatnya lagi kita bersifat egois dan individualistik, setiap diri kita harus mau
dan mampu menjadi pengontrol sosial bagi orang-orang disekitar kita. Mari bersama mencegah perilaku berisiko
‘bergaul sakit’. Sederhananya beranikah
kita mengkampanyekan “Say No To PACARAN!” untuk diri, keluarga, dan orang-orang
disekitar kita? Ini adalah bentuk
tanggungjawab sosial dan kontrol sosial mencegah dampak buruk pergaulan bebas.
3). Kebijakan publik yang mendukung
upaya ‘bergaul sehat untuk remaja’ tetap harus diupayakan. Media advokasi saat ini masih diperlukan,
kita tentu harus terus berupaya agar terwujud aturan publik yang betul-betul
dapat menjamin kesehatan masyarakat khususnya kesehatan remaja sebagai bentuk
investasi masa depan.^^
Salam Sehat