A: "Heii, kamu kann!!!!" dengan antusias menyebut namaku
B: " Iye pak, saya.." sambil tersenyum membalas sapaannya...
A: " Langgananku ini waktu kecil.."
B: "Iye kasian pak, saya langganan becakta dulu..." ucapku menimpali
Percakapan ini terjadi kemarin siang, saya dan beberapa teman sedang berjalan bersama saat bertemu bapak ini, terakhir bertemu seingat saya bapak ini masih menganyuh becak sekalipun dengan kaki yang cacat (kaki beliau hanya satu- red). Dia masih mengingatku dengan jelas rupanya. Bapak yang dulu semasa SMP dan SMA selalu kutumpangi becaknya. Kini setelah lorong rumah kami dulu jalannya diperlebar, pengayuh becak sudah tersisih dengan ojek, maka pindahlah mereka ke lorong lain yang jalurnya lebih pendek.
Semua pasti diantara kita pernah melihat kendaraan roda tiga ini, bagi kota-kota kecil seperti kota kami becak masih menjadi alternatif transportasi bagi lorong-lorong kecil yang tak terjangkau angkot.
Bayangkanlah seorang bapak pengendara becak mengayuh becaknya dengan mengandalkan satu kaki karena kakinya yang satu puntung dan diamputasi. Dulu, diawal mengenalnya bagi saya seorang gadis kecil becak dengan pengendara cacat membuatku takut dan khawatir, jangan-jangan bapak ini tak bisa mengantarku sampe tujuan, kasihan juga tak tega bercampur jadi satu. jadi setiap bertemu dengan becaknya saya memilih memanggil becak lain sampai suatu hari dia berkata kepadaku "kenapa nak, kenapa tak mau naik becak saya., saya masih kuat bawa becak, jangan takut., daripada saya minta-minta, lebih bagus bawa becak to..." ucapan ini seakan membuka pikiranku, dan jadilah sejak saat itu saya tak lagi menolak menumpangi becaknya pulang dan pergi sekolah. Pelajaran berharga dari bapak pengendara becak pertama.
Jelang memasuki perguruan tinggi, kisah bersama bapak pengendara becak berlanjut. Di Kota Daeng tempatku menuntut ilmu dan jauh dari keluarga, menjadi anak kos-kos-an adalah pilihan. Jadilah saya dan beberapa teman mengontrak sebuah rumah tak jauh dari kampus. Becak sekali lagi menjadi alat transportasi yang mengantarkan kami keluar masuk lorong, tak ayal lagi karena sering menumpang becak ada pengendara becak yang menjadi langganan kami, kami biasa menitipkan belanjaan dari pasar untuk diantar kerumah saat harus pergi ke tempat lain setelah belanja, biasa pula kami minta tolong diperbaiki pagar atau memotong rumput dihalaman. Saat musim kemarau dan air PDAM macet, bantuan daeng becak ini sangat terasa (kami memanggilnya daeng sebagai bentuk pengormatan-red), tanpa diminta dia biasa menghampiri rumah kami dan berkata "Habismi airmu..mari kuambilkanko' air sumur..". Kami biasa memberinya upah alakadarnya, tapi beliau tak pernah meminta besaran rupiah yang harus kami berikan ke dia. Seikhlasnya begitulah dia. Beberapa tahun setelah menyelesaikan pendidikan di Kota Daeng saya sempat berkunjung dan mencari "Daeng Sabare" begitu kami biasa memanggilnya, saat pertemuan terkhir itu, saya menemuinya dalam keadaan lumpuh dan tuli, penyakit yang tiba-tiba datang menyerangnya.
Di masa sakitnya 'daeng sabare' tak bisa lagi mengontrak rumah hingga salah seorang tetangganya merelakan satu kamar kontrakannya untuk di huni daeng sabare dan keluarganya. beliau memang terkenal baik hati, anak-anak kecil berseragam merah putih seingat saya yang jalan kaki keluar masuk lorong sering diangkut gratis oleh Daeng Sabare. Bahkan seorang langganan becak Daeng Sabare ada yang dengan rela mengurus pengobatan Daeng Sabare, mengantarnya ke bolak-balik berobat jalan ke rumah sakit semua dilakukan dengan tulus dan ikhlas, begitu banyak yang berbuat baik untuk Daeng Sabare. Jalan-jalanlah ke lorong kami tak ada yang tak kenal pengendara becak "Daeng Sabare" dan kebaikan hatinya. balasan kebaikan selalu kebaikan. Pelajaran berharga dari bapak pengendara becak kedua.
Belum lama ini, suatu pagi lagi-lagi saat menumpangi becak, saya telah sampai ditempat tujuan dan ingin membayar ongkos becak yang saya tumpangi, pengendara becak itu berkata "Tidak usah bayar de, gratis saja...saya biasa memang kasi gratis penumpang pertamaku pagi-pagi". Katanya dengan ringan sambil tersenyum. Hahhh jawaban yang tidak saya sangka-sangka. Pagi-pagi menerima sedekah dari abang becak..Hehee..Luar Biasa! Pelajaran berharga dari bapak pengendara becak ketiga.
*Terima kasih bapak pengendara becak. Mungkin inilah yang disebutkan jika semua tempat adalah sekolah, maka setiap orang yang ditemui adalah guru. Tk
B: " Iye pak, saya.." sambil tersenyum membalas sapaannya...
A: " Langgananku ini waktu kecil.."
B: "Iye kasian pak, saya langganan becakta dulu..." ucapku menimpali
Percakapan ini terjadi kemarin siang, saya dan beberapa teman sedang berjalan bersama saat bertemu bapak ini, terakhir bertemu seingat saya bapak ini masih menganyuh becak sekalipun dengan kaki yang cacat (kaki beliau hanya satu- red). Dia masih mengingatku dengan jelas rupanya. Bapak yang dulu semasa SMP dan SMA selalu kutumpangi becaknya. Kini setelah lorong rumah kami dulu jalannya diperlebar, pengayuh becak sudah tersisih dengan ojek, maka pindahlah mereka ke lorong lain yang jalurnya lebih pendek.
Semua pasti diantara kita pernah melihat kendaraan roda tiga ini, bagi kota-kota kecil seperti kota kami becak masih menjadi alternatif transportasi bagi lorong-lorong kecil yang tak terjangkau angkot.
Bayangkanlah seorang bapak pengendara becak mengayuh becaknya dengan mengandalkan satu kaki karena kakinya yang satu puntung dan diamputasi. Dulu, diawal mengenalnya bagi saya seorang gadis kecil becak dengan pengendara cacat membuatku takut dan khawatir, jangan-jangan bapak ini tak bisa mengantarku sampe tujuan, kasihan juga tak tega bercampur jadi satu. jadi setiap bertemu dengan becaknya saya memilih memanggil becak lain sampai suatu hari dia berkata kepadaku "kenapa nak, kenapa tak mau naik becak saya., saya masih kuat bawa becak, jangan takut., daripada saya minta-minta, lebih bagus bawa becak to..." ucapan ini seakan membuka pikiranku, dan jadilah sejak saat itu saya tak lagi menolak menumpangi becaknya pulang dan pergi sekolah. Pelajaran berharga dari bapak pengendara becak pertama.
Jelang memasuki perguruan tinggi, kisah bersama bapak pengendara becak berlanjut. Di Kota Daeng tempatku menuntut ilmu dan jauh dari keluarga, menjadi anak kos-kos-an adalah pilihan. Jadilah saya dan beberapa teman mengontrak sebuah rumah tak jauh dari kampus. Becak sekali lagi menjadi alat transportasi yang mengantarkan kami keluar masuk lorong, tak ayal lagi karena sering menumpang becak ada pengendara becak yang menjadi langganan kami, kami biasa menitipkan belanjaan dari pasar untuk diantar kerumah saat harus pergi ke tempat lain setelah belanja, biasa pula kami minta tolong diperbaiki pagar atau memotong rumput dihalaman. Saat musim kemarau dan air PDAM macet, bantuan daeng becak ini sangat terasa (kami memanggilnya daeng sebagai bentuk pengormatan-red), tanpa diminta dia biasa menghampiri rumah kami dan berkata "Habismi airmu..mari kuambilkanko' air sumur..". Kami biasa memberinya upah alakadarnya, tapi beliau tak pernah meminta besaran rupiah yang harus kami berikan ke dia. Seikhlasnya begitulah dia. Beberapa tahun setelah menyelesaikan pendidikan di Kota Daeng saya sempat berkunjung dan mencari "Daeng Sabare" begitu kami biasa memanggilnya, saat pertemuan terkhir itu, saya menemuinya dalam keadaan lumpuh dan tuli, penyakit yang tiba-tiba datang menyerangnya.
Di masa sakitnya 'daeng sabare' tak bisa lagi mengontrak rumah hingga salah seorang tetangganya merelakan satu kamar kontrakannya untuk di huni daeng sabare dan keluarganya. beliau memang terkenal baik hati, anak-anak kecil berseragam merah putih seingat saya yang jalan kaki keluar masuk lorong sering diangkut gratis oleh Daeng Sabare. Bahkan seorang langganan becak Daeng Sabare ada yang dengan rela mengurus pengobatan Daeng Sabare, mengantarnya ke bolak-balik berobat jalan ke rumah sakit semua dilakukan dengan tulus dan ikhlas, begitu banyak yang berbuat baik untuk Daeng Sabare. Jalan-jalanlah ke lorong kami tak ada yang tak kenal pengendara becak "Daeng Sabare" dan kebaikan hatinya. balasan kebaikan selalu kebaikan. Pelajaran berharga dari bapak pengendara becak kedua.
Belum lama ini, suatu pagi lagi-lagi saat menumpangi becak, saya telah sampai ditempat tujuan dan ingin membayar ongkos becak yang saya tumpangi, pengendara becak itu berkata "Tidak usah bayar de, gratis saja...saya biasa memang kasi gratis penumpang pertamaku pagi-pagi". Katanya dengan ringan sambil tersenyum. Hahhh jawaban yang tidak saya sangka-sangka. Pagi-pagi menerima sedekah dari abang becak..Hehee..Luar Biasa! Pelajaran berharga dari bapak pengendara becak ketiga.
*Terima kasih bapak pengendara becak. Mungkin inilah yang disebutkan jika semua tempat adalah sekolah, maka setiap orang yang ditemui adalah guru. Tk
#HappyFriday, 27 Ramadhan^^
#Jumatberkah #RamadhanAl-Mubarak
Catatan pagi,
@tatikbahar
Catatan pagi,
@tatikbahar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar