Seluruh proses dalam mencari pelayanan kesehatan mencakup perangkat konsultan potensial, mulai pada batas-batas keluarga yang informal dan dekat melalui orang awam yang terseleksi, lebih jauh dan lebih mempunyai otoritas sampai pada tingkat profesional. Hal ini disebut sebagai sistem rujukan awam (hierarchy of resort) yang meliputi tiga sektor yaitu : sektor awam, sektor tradisional dan sektor profesional.
a. Sektor Awam atau Sektor Populer.
Pada sektor inilah pertama kali kesakitan dikenali dan ditentukan. Hal ini melibatkan keluarga, teman, dan tetangga. Perangkat informal inilah yang mungkin bisa membantu menafsirkan sebuah gejala, memberi nasehat bagaimana cara mencari bantuan medis. Sekitar 70 % - 90 % kesakitan maupun gangguan lain tidak pernah masuk sektor tradisional atau sektor profesional, tetapi bisa terdiagnosa dan diobati oleh orang awam. Keyakinan awam tentang kesehatan dan kesakitan, lebih spesifik mengenai etiologi akan mempengaruhi perilaku mencari bantuan. Keyakinan awam adalah suatu konsep yang sangat umum yang mengacu pada setiap keyakinan yang berkaitan dengan kesehatan dan kesakitan.
b. Sektor Tradisional
Sektor ini menempati posisi tengah antara sektor awam dengan sektor profesional. Di Indonesia dukun termasuk dalam kelompok tradisional. Tenaga-tenaga pengobat tradisional biasanya merupakan warga yang sangat dihormati dalam masyarakat mereka. Pengetahuan mereka berbeda dengan pengetahuan dokter, tetapi hal ini sama sekali tidak berarti pengetahuannya kurang penting. Tenaga-tenaga pengobat tradisional dihormati sebagai dukun-dukun tradisional. Pencaharian pertolongan perawatan kesehatan ibu hamil kepada pengobatan tradisional ini dilakukan oleh dukun beranak. Salah satu tujuan dari perawatan kehamilan adalah untuk memperoleh keselamatan. Penelitian yang dilakukan oleh Bahar (2010) pada Kecamatan Abeli Kota Kendari menunjukkan bahwa kebiasaan memeriksakan kehamilan pada dukun sudah menjadi tradisi yang berlaku secara turun-temurun dengan didasari akan kepercayaan akan tindakan dan kemampuan dukun dan kepuasan pelayanan dapat mereka rasakan jika sudah melakukan pemeriksaan kehamilan pada dukun.
c. Sektor Profesional
Para profesional kesehatan dari organisasi-organisasi profesi di bidang penyembuhan yang resmi seperti dokter, perawat, dan bidan. Pelaksanaan sistem rujukan awam dalam pencaharian pelayanan kesehatan adalah merupakan pencaharian pelayanan kesehatan secara berjenjang. Namun, dalam pelaksanaannya sering dilaksanakan secara simultan dan serentak dilakukan pencarian pelayanan kesehatan kepada sumber-sumber pemberi pelayanan.
Foster dan Anderson menyebutkan lima tahap di dalam proses menuju pemanfaatan pelayanan medis yaitu :
1. Keputusan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
2. Keputusan bahwa seseorang sakit dan membutuhkan perawatan profesional.
3. Keputusan untuk mencari perawatan medis.
4. Keputusan untuk mengalihkan pengawasan kepada dokter dan menerima serta mengikuti pengobatan yang ditetapkan.
5. Keputusan untuk mengakhiri peranan pasien.
Banyak faktor yang mempengaruhi ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan yang tidak terlepas dari perilaku kesehatan. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2005) mengemukakan bahwa perilaku masyarakat dalam program kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, faktor penentu (Predisposing Factors) terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku, yang termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap, nilai, dan kepercayaan. Kedua faktor pemungkin (Enabling Factors) suatu motivasi terlaksana, termasuk didalamnya keterampilan, sumberdaya peribadi dan sumber daya komuniti. Ketiga, faktor penguat (Reinforcing Factors) adanya pemberian ganjaran, reward, dan insentif untuk manfaat sosial.
Daftar Bacaan :
Bahar Hartati, 2010, Peran Aspek Sosial Budaya Pada Kejadian Anemia (Studi Kasus Pada Masyarakat Pesisir Kecamatan Abeli Kota Kendari, PPS Unhas, Makassar.
Foster dan Anderson, 1986, Antropologi Kesehatan, UI Press, Jakarta
Irwan Zaki, 2003, Perilaku Ibu Hamil Etnis Mandar Terhadap Kejadian Anemia di Kabupaten Majene, PPS Unhas, Makassar.
Machfoedz I dan Suryani E, 2008, Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan, Fitramaya, Yogyakarta
Muzaham Fauzi, 1995, Sosiologi Kesehatan, UI Press, Jakarta
Notoatmodjo Soekidjo, 2005, Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo Soekidjo, 2007, Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta.
Smet Bart, 1994, Psikologi Kesehatan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Jika kehidupan adalah perjalanan yang berujung, maka menulis akan mengabadikan kehidupan...
Selasa, 22 Februari 2011
Pencarian Pelayanan Kesehatan (Part I)
Rendahnya utilisasi (penggunaan) fasilitas kesehatan, penyebabnya sering dilemparkan kepada jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat terlalu jauh (baik fisik maupun secara sosial), tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan dan sebagainya. Kita sering melupakan faktor persepsi atau konsep masyarakat itu sendiri tentang sakit. Pada kenyataannya, didalam masyarakat itu sendiri terdapat beraneka ragam konsep sehat sakit yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan konsep sehat sakit yang diberikan oleh provider. Perbedaan tersebut disebabkan karena persepsi sakit yang berbeda antara masyarakat dengan provider (Notoatmodjo, 2007).
Suchman dalam Muzaham (1995) memberikan sekuensi peristiwa medis atas 5 tingkat yaitu :
1. Pengalaman dengan gejala penyakit. Pada tahap ini individu memutuskan bahwa dirinya dalam keadaan sakit yang ditandai dengan rasa tidak enak dan keadaan itu dianggap membahayakan dirinya.
2. Penilaian terhadap peran sakit. Karena merasa sakit dan memerlukan pengobatan, individu mulai mencari pengakuan dari kelompok acuannya (keluarga, tetangga, teman sekerja) tentang sakitnya itu.
3. Kontak terhadap perawatan medis. Disini, individu mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai pengalamannya atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu dengan sendirinya didasari atas kepercayaan dan keyakinan akan kemanjuran sarana tersebut.
4. Jadi pasien, individu memutuskan bahwa dirinya sebagai orang yang sakit dan ingin disembuhkan, harus menggantungkan diri dan pasrah kepada prosedur pengobatan. Dia harus mematuhi perintah orang yang akan menyembuhkan agar kesembuhan itu cepat tercapai.
5. Sembuh atau masa rehabilitasi. Pada saat si sakit memutuskan untuk melepaskan diri dari peranan sebagai orang sakit. Hal ini terjadi karena ia sudah sehat kembali dan berfungsi sebagai sedia kala.
Young membuat model perilaku tentang ”pilihan berobat”, di mana adaptasi lintas budaya yang terdapat dalam model kepercayaan kesehatan (health belief model) digunakan untuk menjelaskan pengambilan keputusan tentang pengobatan. Rumusan Young meliputi empat unsur utama :
1. Daya tarik (gravity), yaitu tingkat keparahan yang dirasakan oleh kelompok referensi individu (anggapan bahwa hal itu ada sebelum jatuh sakit, yakni kesamaan pendapat dalam kelompok tentang berat ringannya tingkat keparahan dari berbagai jenis penyakit).
2. Pengetahuan tentang cara-cara penyembuhan populer (home remedy), yang bersumber pada sistem rujukan awam (yaitu jika cara pengobatan tidak diketahui, atau setelah dicoba ternyata tidak efektif, maka individu akan beralih pada sistem rujukan profesional).
3. Kepercayaan (faith), atau tingkat kepercayaan terhadap keberhasilan dari berbagai pilihan pengobatan (terutama dari penyembuhan tradisional).
4. Kemudahan (accessibility), meliputi biaya dan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan.
Kemudian menurut Notoatmodjo (2007) respon seseorang apabila sakit dapat dikategorikan dalam beberapa bagian :
Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action), alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya.
Kedua, tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama dengan yang pertama tetapi ditambah dengan kepercayaan terhadap diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasar pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencaharian pengobatan keluar tidak diperlukan.
Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy). Untuk masyarakat tertentu pengobatan traditional masih menduduki tempat teratas dibanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Dukun (bermacam-macam dukun) yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian dari masyarakat, berada ditengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat daripada dokter, mantri, bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka, seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obat-obatnya pun merupakan kebudayaan mereka.
Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat-obat yang digunakan pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.
Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah dan lembaga swasta yang dikelompokkan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
Keenam, adalah mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktik (private medicine).
next...(Part II)
Daftar Bacaan :
Irwan Zaki, 2003, Perilaku Ibu Hamil Etnis Mandar Terhadap Kejadian Anemia di Kabupaten Majene, PPS Unhas, Makassar.
Machfoedz I dan Suryani E, 2008, Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan, Fitramaya, Yogyakarta
Muzaham Fauzi, 1995, Sosiologi Kesehatan, UI Press, Jakarta
Notoatmodjo Soekidjo, 2005, Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo Soekidjo, 2007, Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta.
Smet Bart, 1994, Psikologi Kesehatan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Suchman dalam Muzaham (1995) memberikan sekuensi peristiwa medis atas 5 tingkat yaitu :
1. Pengalaman dengan gejala penyakit. Pada tahap ini individu memutuskan bahwa dirinya dalam keadaan sakit yang ditandai dengan rasa tidak enak dan keadaan itu dianggap membahayakan dirinya.
2. Penilaian terhadap peran sakit. Karena merasa sakit dan memerlukan pengobatan, individu mulai mencari pengakuan dari kelompok acuannya (keluarga, tetangga, teman sekerja) tentang sakitnya itu.
3. Kontak terhadap perawatan medis. Disini, individu mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai pengalamannya atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu dengan sendirinya didasari atas kepercayaan dan keyakinan akan kemanjuran sarana tersebut.
4. Jadi pasien, individu memutuskan bahwa dirinya sebagai orang yang sakit dan ingin disembuhkan, harus menggantungkan diri dan pasrah kepada prosedur pengobatan. Dia harus mematuhi perintah orang yang akan menyembuhkan agar kesembuhan itu cepat tercapai.
5. Sembuh atau masa rehabilitasi. Pada saat si sakit memutuskan untuk melepaskan diri dari peranan sebagai orang sakit. Hal ini terjadi karena ia sudah sehat kembali dan berfungsi sebagai sedia kala.
Young membuat model perilaku tentang ”pilihan berobat”, di mana adaptasi lintas budaya yang terdapat dalam model kepercayaan kesehatan (health belief model) digunakan untuk menjelaskan pengambilan keputusan tentang pengobatan. Rumusan Young meliputi empat unsur utama :
1. Daya tarik (gravity), yaitu tingkat keparahan yang dirasakan oleh kelompok referensi individu (anggapan bahwa hal itu ada sebelum jatuh sakit, yakni kesamaan pendapat dalam kelompok tentang berat ringannya tingkat keparahan dari berbagai jenis penyakit).
2. Pengetahuan tentang cara-cara penyembuhan populer (home remedy), yang bersumber pada sistem rujukan awam (yaitu jika cara pengobatan tidak diketahui, atau setelah dicoba ternyata tidak efektif, maka individu akan beralih pada sistem rujukan profesional).
3. Kepercayaan (faith), atau tingkat kepercayaan terhadap keberhasilan dari berbagai pilihan pengobatan (terutama dari penyembuhan tradisional).
4. Kemudahan (accessibility), meliputi biaya dan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan.
Kemudian menurut Notoatmodjo (2007) respon seseorang apabila sakit dapat dikategorikan dalam beberapa bagian :
Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action), alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya.
Kedua, tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama dengan yang pertama tetapi ditambah dengan kepercayaan terhadap diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasar pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencaharian pengobatan keluar tidak diperlukan.
Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy). Untuk masyarakat tertentu pengobatan traditional masih menduduki tempat teratas dibanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Dukun (bermacam-macam dukun) yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian dari masyarakat, berada ditengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat daripada dokter, mantri, bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka, seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obat-obatnya pun merupakan kebudayaan mereka.
Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat-obat yang digunakan pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.
Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah dan lembaga swasta yang dikelompokkan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
Keenam, adalah mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktik (private medicine).
next...(Part II)
Daftar Bacaan :
Irwan Zaki, 2003, Perilaku Ibu Hamil Etnis Mandar Terhadap Kejadian Anemia di Kabupaten Majene, PPS Unhas, Makassar.
Machfoedz I dan Suryani E, 2008, Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan, Fitramaya, Yogyakarta
Muzaham Fauzi, 1995, Sosiologi Kesehatan, UI Press, Jakarta
Notoatmodjo Soekidjo, 2005, Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo Soekidjo, 2007, Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta.
Smet Bart, 1994, Psikologi Kesehatan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Senin, 21 Februari 2011
Hubungan Aspek Sosial Budaya Dan Kesehatan
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Menurut E.B Tylor mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak (Soekanto, 2006).
Setiap manusia mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Koentjaraningrat (2005) mengemukakan bahwa kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu : wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan-peraturan, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Goodenough dalam Dumatubun (2002) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”, merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat, dan digunakan sebagai pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain.
Manusia dalam menghadapi lingkungan senantiasa menggunakan berbagai model tingkah laku yang selektif (selected behaviour) sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Pola perilaku tersebut didasarkan pada sistem kebudayaan yang diperoleh dan dikembangkan serta diwariskan secara turun temurun.
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan budaya bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya untuk digunakan, dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang.
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga, teman sepermainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).
Dalam melakukan tindakan pada suatu interaksi sosial, seseorang dipandu nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut adalah prinsip-prinsip yang berlaku pada suatu masyarakat tentang apa yang baik, apa yang benar dan apa yang berharga yang harusnya dimiliki dan dicapai oleh warga masyarakat. Sistem nilai mencakup konsep-konsep abstrak tentang apa yang dianggap baik, dan apa yang dianggap buruk dan itulah sesungguhnya inti dari suatu kebudayaan (Badrujaman, 2008).
Nilai sebagai keyakinan yang pantas dan benar bagi diri dan orang lain dalam lingkungan kebudayaan tertentu diharapkan dijalankan bagi semua warganya termasuk generasi selanjutnya. Pandangan tentang pengertian nilai menurut Bambang Daroeso, nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang (Herimanto dan Winarno, 2008). Perwujudan dari nilai yang bersifat abstrak menjadi suatu pola perilaku senyatanya dan perilaku dibenarkan, disebut norma (norm), norma sebagai perilaku nyata (empirik) yang bersifat objektif, dapat diamati, dan telah terpolakan dalam masyarakat. Norma merupakan tatanan yang menuntut individu harus berperilaku tertentu (Polak, 1991; Giddens, 1995, Hamzah, 2000).
Khusus dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan pula struktur normatif atau menurut istilah Ralp Linton designs for living (garis-garis atau petunjuk dalam hidup). Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku atau blue print of behaviour yang merupakan peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang, dan lain sebagainya.
Konsep sehat dilihat dari segi sosial, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang melingkupi individu tersebut. Untuk sebuah kesehatan masyarakat menciptakan sebuah strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit. Strategi yang memaksa manusia untuk menaruh perhatian utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usahanya untuk menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan “suatu kompleks luas dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, idiologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu (Anderson, 1980, dalam Badrujaman, 2008).
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat, yang diwujudkan dalam sistem sosial. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan kebudayaan masing-masing (Dumatubun, 2002). Selain dengan pengamalan perilaku dalam konteks budaya, pengamalan perilaku setiap individu sangat erat kaitannya dengan “belief, kepercayaan” sebagai bagian nilai budaya masyarakat bersangkutan (Ngatimin, 2005)
Nilai-nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi manusia dan masyarakat penganutnya. Didalamnya tercakup segala sesuatu yang mengatur hidup mereka termasuk tatacara mencari pengobatan bila sakit. Kekurangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan disertai pengalaman hidup sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya membuat mereka mencari pemecahan timbulnya penyakit, penyebaran dan cara pengobatan menuju ke arah percaya akan adanya pengaruh roh halus dan tahyul.
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit (Kalangi, 1994). Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya.
Daftar Bacaan :
Badrujaman Aip, 2008, Sosiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Trans Info Media, Jakarta
Dumatubun, A E, 2002, Kebudayaan Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif Antropologi Kesehatan, Jurnal Antropologi Papua Vol 1 No.1.
Hamzah Asiah, 2000. Pola Asuh Anak pada Etnik Mandar, Studi Budaya Lokal Dengan Pendekatan Etnometodologi, Interaksi Simbolik, Dan Analogi Model Kasper Pada Pengasuhan Anak, Disertasi, 2000
Herimanto dan Winarno, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta.
Kalangi Nico S, 2004, Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosial Budaya, Megapoin, Jakarta.
Koentjaraningrat, 2005, Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, Jakarta
Ngatimin Rusli, 2005, Ilmu Perilaku Kesehatan, Yayasan PK-3, Makassar.
Soekanto Soerjono, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Setiap manusia mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Koentjaraningrat (2005) mengemukakan bahwa kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu : wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan-peraturan, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Goodenough dalam Dumatubun (2002) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”, merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat, dan digunakan sebagai pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain.
Manusia dalam menghadapi lingkungan senantiasa menggunakan berbagai model tingkah laku yang selektif (selected behaviour) sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Pola perilaku tersebut didasarkan pada sistem kebudayaan yang diperoleh dan dikembangkan serta diwariskan secara turun temurun.
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan budaya bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya untuk digunakan, dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang.
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga, teman sepermainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).
Dalam melakukan tindakan pada suatu interaksi sosial, seseorang dipandu nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut adalah prinsip-prinsip yang berlaku pada suatu masyarakat tentang apa yang baik, apa yang benar dan apa yang berharga yang harusnya dimiliki dan dicapai oleh warga masyarakat. Sistem nilai mencakup konsep-konsep abstrak tentang apa yang dianggap baik, dan apa yang dianggap buruk dan itulah sesungguhnya inti dari suatu kebudayaan (Badrujaman, 2008).
Nilai sebagai keyakinan yang pantas dan benar bagi diri dan orang lain dalam lingkungan kebudayaan tertentu diharapkan dijalankan bagi semua warganya termasuk generasi selanjutnya. Pandangan tentang pengertian nilai menurut Bambang Daroeso, nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang (Herimanto dan Winarno, 2008). Perwujudan dari nilai yang bersifat abstrak menjadi suatu pola perilaku senyatanya dan perilaku dibenarkan, disebut norma (norm), norma sebagai perilaku nyata (empirik) yang bersifat objektif, dapat diamati, dan telah terpolakan dalam masyarakat. Norma merupakan tatanan yang menuntut individu harus berperilaku tertentu (Polak, 1991; Giddens, 1995, Hamzah, 2000).
Khusus dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan pula struktur normatif atau menurut istilah Ralp Linton designs for living (garis-garis atau petunjuk dalam hidup). Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku atau blue print of behaviour yang merupakan peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang, dan lain sebagainya.
Konsep sehat dilihat dari segi sosial, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang melingkupi individu tersebut. Untuk sebuah kesehatan masyarakat menciptakan sebuah strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit. Strategi yang memaksa manusia untuk menaruh perhatian utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usahanya untuk menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan “suatu kompleks luas dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, idiologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu (Anderson, 1980, dalam Badrujaman, 2008).
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat, yang diwujudkan dalam sistem sosial. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan kebudayaan masing-masing (Dumatubun, 2002). Selain dengan pengamalan perilaku dalam konteks budaya, pengamalan perilaku setiap individu sangat erat kaitannya dengan “belief, kepercayaan” sebagai bagian nilai budaya masyarakat bersangkutan (Ngatimin, 2005)
Nilai-nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi manusia dan masyarakat penganutnya. Didalamnya tercakup segala sesuatu yang mengatur hidup mereka termasuk tatacara mencari pengobatan bila sakit. Kekurangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan disertai pengalaman hidup sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya membuat mereka mencari pemecahan timbulnya penyakit, penyebaran dan cara pengobatan menuju ke arah percaya akan adanya pengaruh roh halus dan tahyul.
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit (Kalangi, 1994). Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya.
Daftar Bacaan :
Badrujaman Aip, 2008, Sosiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Trans Info Media, Jakarta
Dumatubun, A E, 2002, Kebudayaan Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif Antropologi Kesehatan, Jurnal Antropologi Papua Vol 1 No.1.
Hamzah Asiah, 2000. Pola Asuh Anak pada Etnik Mandar, Studi Budaya Lokal Dengan Pendekatan Etnometodologi, Interaksi Simbolik, Dan Analogi Model Kasper Pada Pengasuhan Anak, Disertasi, 2000
Herimanto dan Winarno, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta.
Kalangi Nico S, 2004, Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosial Budaya, Megapoin, Jakarta.
Koentjaraningrat, 2005, Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, Jakarta
Ngatimin Rusli, 2005, Ilmu Perilaku Kesehatan, Yayasan PK-3, Makassar.
Soekanto Soerjono, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Minggu, 20 Februari 2011
Anemia Defisiensi Besi
Anemia adalah salah satu keadaan dengan kadar Hb yang rendah dari nilai normal. Anemia bisa juga berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran atau jumlah eritrosit kandungan hemoglobin. Batas normal kadar Hb pada wanita dewasa berkisar antara 12 gr%, pada ibu hamil kadar Hb senilai 11 gr% masih dianggap normal. Sedangkan apabila kadarnya kurang dari 11gr% dinyatakan anemia.
Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat, dan atau vitamin B12, yang semuanya berakar pada asupan yang tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk), dan kecacingan yang masih tinggi. Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan, sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (Arisman, 2004).
Anemia merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan ibu apabila disertai perdarahan saat kehamilan, persalinan dan pasca salin. Anemia dalam kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan nifas. Pengaruh anemia saat kehamilan dapat berupa abortus, persalinan kurang bulan, dan ketuban pecah sebelum waktunya. Pengaruh anemia saat persalinan dapat berupa partus lama, gangguan his dan kekuatan mengedan serta kala uri memanjang sehingga dapat terjadi retensio plasenta. (Manuaba, 1998).
Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin sehingga disebut anemia defisiensi besi. Kekurangan besi di dalam tubuh tersebut disebabkan karena kekurangan konsumsi zat besi yang berasal dari makanan atau rendahnya absorbsi zat besi yang ada dalam makanan. Kekurangan besi karena kondisi fisiologis, seperti tingginya kebutuhan zat besi selama hamil, kehilangan darah karena kecelakaan, pasca bedah, menstruasi, atau penyakit kronis dan infeksi (Wirakusumah, 1999 dalam Sahruni 2007).
Anemia pada ibu hamil meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan, keguguran, angka prematuritas, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), kematian neonatal, kematian perinatal hingga risiko kematian maternal. Di samping itu, perdarahan lebih sering dijumpai pada wanita yang anemia dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemia tidak dapat mentolerir kehilangan darah, ibu hamil yang menderita anemia juga dapat mengalami kegagalan jantung yang dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan dampak sosial ekonomi akibat anemia adalah penurunan produktifitas. Apabila ibu hamil dapat melahirkan bayi dengan selamat maka bayi tersebut cenderung memiliki perkembangan kecerdasan lebih rendah bila dibandingkan anak-anak lain yang normal.
Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi menurut umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4000 mg, dengan sekitar 2500 mg ada dalam hemoglobin. Di dalam tubuh sebagian zat besi (sekitar 1.000 mg) disimpan di hati berbentuk ferritin. Saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, zat besi dari ferritin dikerahkan untuk memperoleh Hb. Jumlah zat besi yang harus diserap tubuh setiap hari hanya 1 mg atau setara dengan 10-20 mg zat besi yang terkandung dalam makanan. Zat besi pada pangan hewani lebih tinggi penyerapannya yaitu 20-30%, sedangkan dari sumber nabati hanya 1-6% (Arief, 2008).
Kebutuhan zat besi pada setiap trimester kehamilan berbeda-beda. Pada trimester pertama, kebutuhan besi justru lebih rendah dari masa sebelum hamil. Ini disebabkan wanita hamil tidak mengalami menstruasi dan janin yang dikandung belum membutuhkan banyak zat besi. Menjelang trimester kedua, kebutuhan zat besi mulai meningkat. Pada saat ini terjadi penambahan jumlah sel-sel darah merah yang akan terus berlanjut sampai trimester ketiga. Jumlah sel darah merah yang bertambah mencapai 35%, seiring dengan meningkatnya kebutuhan zat besi sebanyak 450 mg. Pertambahan sel darah merah disebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen dari janin. Kosentrasi hemoglobin menurun selama trimester kedua sampai mencapai rata-rata 1 gr/dl. Anemia fisiologis penyebabnya adalah volume plasma yang meningkat jauh diatas peningkatan jumlah sel darah merah.
Kebutuhan zat besi tiap semester sebagai berikut:
Trimester I : Kebutuhan zat besi ± 1 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah 30-40 mg untuk kebutuhan janin dan sel darah merah.
Trimester II : Kebutuhan zat besi ± 5 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah kebutuhan sel darah merah 300 mg dan conceptus 115 mg.
Trimester III : Kebutuhan zat besi ± 5 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah kebutuhan sel darah merah 150 mg dan conceptus 223 mg.
Menurut WHO, anemia pada ibu hamil diklasifikasikan berdasarkan kadar Hb ibu hamil jadi tiga kategori sebagai berikut :
a. Normal, >11 gr%
b. Anemia ringan, 8-10 gr%
c. Anemia berat, <8 gr%.
Penyebab timbulnya anemia pada seseorang , ada 3 faktor penting yaitu kehilangan darah karena perdarahan, pengrusakan sel darah merah dan produksi sel darah merah yang tidak cukup banyak. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa penyebab utama timbulnya anemia adalah karena kurangnya zat besi yang diperberat oleh rendahnya konsumsi vitamin C. Menurut Gibney (2004) dalam Hadju (2008) terdapat empat pendekatan utama dalam pencegahan dan pengendalian anemia defisiensi zat besi yaitu 1) menyediakan suplemen zat besi, 2) fortifikasi zat besi dalam makanan yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat, 3) pendidikan gizi, dan 4) pendekatan berbasis holtikultur untuk memperbaiki biovailabilitas zat besi dari makanan.
Daftar Bacaan :
Arief Nurhaeni, 2008, Kehamilan dan Kelahiran Sehat, Dian Loka, Yogyakarta.
Astawan Made, 2009, Ensiklopedia Gizi Pangan Untuk Keluarga, Dian Rakyat, Jakarta.
Arisman, 2204, Gizi dalam Daur Kehidupan, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
Curtis, B Glade, 2008, Panduan Lengkap Kehamilan Anda dari Minggu ke Minggu , Golden Books, Yogyakarta.
Manuaba Ida Bagus, 1998, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat, dan atau vitamin B12, yang semuanya berakar pada asupan yang tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk), dan kecacingan yang masih tinggi. Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan, sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (Arisman, 2004).
Anemia merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan ibu apabila disertai perdarahan saat kehamilan, persalinan dan pasca salin. Anemia dalam kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan nifas. Pengaruh anemia saat kehamilan dapat berupa abortus, persalinan kurang bulan, dan ketuban pecah sebelum waktunya. Pengaruh anemia saat persalinan dapat berupa partus lama, gangguan his dan kekuatan mengedan serta kala uri memanjang sehingga dapat terjadi retensio plasenta. (Manuaba, 1998).
Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin sehingga disebut anemia defisiensi besi. Kekurangan besi di dalam tubuh tersebut disebabkan karena kekurangan konsumsi zat besi yang berasal dari makanan atau rendahnya absorbsi zat besi yang ada dalam makanan. Kekurangan besi karena kondisi fisiologis, seperti tingginya kebutuhan zat besi selama hamil, kehilangan darah karena kecelakaan, pasca bedah, menstruasi, atau penyakit kronis dan infeksi (Wirakusumah, 1999 dalam Sahruni 2007).
Anemia pada ibu hamil meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan, keguguran, angka prematuritas, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), kematian neonatal, kematian perinatal hingga risiko kematian maternal. Di samping itu, perdarahan lebih sering dijumpai pada wanita yang anemia dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemia tidak dapat mentolerir kehilangan darah, ibu hamil yang menderita anemia juga dapat mengalami kegagalan jantung yang dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan dampak sosial ekonomi akibat anemia adalah penurunan produktifitas. Apabila ibu hamil dapat melahirkan bayi dengan selamat maka bayi tersebut cenderung memiliki perkembangan kecerdasan lebih rendah bila dibandingkan anak-anak lain yang normal.
Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi menurut umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4000 mg, dengan sekitar 2500 mg ada dalam hemoglobin. Di dalam tubuh sebagian zat besi (sekitar 1.000 mg) disimpan di hati berbentuk ferritin. Saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, zat besi dari ferritin dikerahkan untuk memperoleh Hb. Jumlah zat besi yang harus diserap tubuh setiap hari hanya 1 mg atau setara dengan 10-20 mg zat besi yang terkandung dalam makanan. Zat besi pada pangan hewani lebih tinggi penyerapannya yaitu 20-30%, sedangkan dari sumber nabati hanya 1-6% (Arief, 2008).
Kebutuhan zat besi pada setiap trimester kehamilan berbeda-beda. Pada trimester pertama, kebutuhan besi justru lebih rendah dari masa sebelum hamil. Ini disebabkan wanita hamil tidak mengalami menstruasi dan janin yang dikandung belum membutuhkan banyak zat besi. Menjelang trimester kedua, kebutuhan zat besi mulai meningkat. Pada saat ini terjadi penambahan jumlah sel-sel darah merah yang akan terus berlanjut sampai trimester ketiga. Jumlah sel darah merah yang bertambah mencapai 35%, seiring dengan meningkatnya kebutuhan zat besi sebanyak 450 mg. Pertambahan sel darah merah disebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen dari janin. Kosentrasi hemoglobin menurun selama trimester kedua sampai mencapai rata-rata 1 gr/dl. Anemia fisiologis penyebabnya adalah volume plasma yang meningkat jauh diatas peningkatan jumlah sel darah merah.
Kebutuhan zat besi tiap semester sebagai berikut:
Trimester I : Kebutuhan zat besi ± 1 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah 30-40 mg untuk kebutuhan janin dan sel darah merah.
Trimester II : Kebutuhan zat besi ± 5 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah kebutuhan sel darah merah 300 mg dan conceptus 115 mg.
Trimester III : Kebutuhan zat besi ± 5 mg/hari, (kehilangan basal 0,8 mg/hari) ditambah kebutuhan sel darah merah 150 mg dan conceptus 223 mg.
Menurut WHO, anemia pada ibu hamil diklasifikasikan berdasarkan kadar Hb ibu hamil jadi tiga kategori sebagai berikut :
a. Normal, >11 gr%
b. Anemia ringan, 8-10 gr%
c. Anemia berat, <8 gr%.
Penyebab timbulnya anemia pada seseorang , ada 3 faktor penting yaitu kehilangan darah karena perdarahan, pengrusakan sel darah merah dan produksi sel darah merah yang tidak cukup banyak. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa penyebab utama timbulnya anemia adalah karena kurangnya zat besi yang diperberat oleh rendahnya konsumsi vitamin C. Menurut Gibney (2004) dalam Hadju (2008) terdapat empat pendekatan utama dalam pencegahan dan pengendalian anemia defisiensi zat besi yaitu 1) menyediakan suplemen zat besi, 2) fortifikasi zat besi dalam makanan yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat, 3) pendidikan gizi, dan 4) pendekatan berbasis holtikultur untuk memperbaiki biovailabilitas zat besi dari makanan.
Daftar Bacaan :
Arief Nurhaeni, 2008, Kehamilan dan Kelahiran Sehat, Dian Loka, Yogyakarta.
Astawan Made, 2009, Ensiklopedia Gizi Pangan Untuk Keluarga, Dian Rakyat, Jakarta.
Arisman, 2204, Gizi dalam Daur Kehidupan, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
Curtis, B Glade, 2008, Panduan Lengkap Kehamilan Anda dari Minggu ke Minggu , Golden Books, Yogyakarta.
Manuaba Ida Bagus, 1998, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
Rabu, 16 Februari 2011
Tinjauan Wilayah Pesisir
Beberapa penelitian yang di share di blog ini dilakukan di wilayah pesisir. Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Henny, 2003).
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Wiyana, 2004).
Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran pengaruh antara darat, laut dan udara (iklim). Wilayah pesisir khusunya perairan estuaria mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan di laut. Namun demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di luar normal. Menurut fungsinya, wilayah pesisir merupakan zone penyangga (buffer zone) bagi hewan-hewan migrasi. Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati adalah ekosistem litoral (pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, dan pantai lumpur), hutan payau, vegetasi terna rawa payau, hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut (Henny, 2003).
Ciri-ciri Wilayah Pesisir
a. Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat.
b. Tempat dimana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan merupakan tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai jenis spesies organisme perairan.
c. Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, muara sungai, lamun dan sebagainya yang merupakan pelindung alam yang penting dari erosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut.
d. Sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, dan tempat berlibur atau rekreasi.
Pendapat Scura et al (1998) dalam Satria (2009) mengenai wilayah pesisir adalah daerah yang mewakili antara pertemuan daratan dan laut, tetapi kepedulian dan minat diarahkan pada wilayah dimana aktifitas manusia saling keterkaitan dengan daratan dan lingkungan laut, dan wilayah pesisir mempunyai karakteristik, yaitu:
a. Memiliki habitat dan ekosisitem (seperti estuaria, terumbu karang, padang lamun), yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, mineral) dan jasa (seperti bentuk perlindungan alam dari badai, arus pasang surut, rekreasi) untuk masyarakat pesisir.
b. Dicirikan persaingan untuk sumber daya daratan, lautan dan ruang oleh berbagai stakeholder, seringkali menimbulkan konflik besar dan menurunkan fungsi terpadu dari sistem sumber daya.
c. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat mengalihkan Gross National Product (GNP) terhadap kegiatan seperti pembangunan perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata pesisir dan lain-lain;
d. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan tempat yang baik untuk urbanisasi.
Konsep mengenai masyarakat pantai dapat didekati melalui upaya pemanfaatan sumber daya alam oleh penduduknya dan kompleksitas perwujudan budaya masyarakat. beberapa tipe desa-desa pantai melalui pendekatan pemanfaatan sumber daya alam, yaitu sebagai berikut :
1. Desa pantai tipe bahan makanan, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani sawah khususnya sawah padi.
2. Desa pantai tipe tanaman industri, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani tanaman industry terutama kelapa.
3. Desa pantai tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa pantai yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai penangkap ikan laut/pemeliharaan ikan darat.
4. Desa pantai niaga dan transportasi, yaitu desa-desa pantai yang sepanjang lahan dapat ditempati oleh perahu-perahu layar.
Sedangkan pendekatan kompleksitas perwujudan budaya masyarakat pantai sangat berkaitan dengan kultur laut yang mendapat pengaruh dari maritime great tradition. Adapun konsep pengertian masyarakat pesisir yang digunakan dalam studi ini adalah konsep masyarakat pesisir di perkotaan tipe nelayan dan petambak dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petambak dan nelayan (Razak, 2000).
Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Sastria, 2009).
Sumberdaya wilayah pesisir merupakan suatu sumberdaya alam yang kaya dan beragam, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Selain itu wilayah ini juga memiliki aksebilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi seperti transportasi, pelabuhan, industri, pemukiman, dan pariwisata. Akan tetapi jika pembangunan di wilayah pesisisr tidak ditata dengan baik dan tidak memperhatikan segenap aspek terkait, terutama aspek keseimbangan antara tingkat pembangunan dan daya dukung lingkungan serta keseimbangan pembangunan antar daerah, maka pembangunan tersebut tidak akan mencapai hasil yang oprtimal dan berkesinambungan.
Pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir sesuai dengan konsep yang ada harus dilakukan seecara terencana, rasional, bertanggungjawab sesuai dengan kemampuan da dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan hak tersebut, maka diperlukan strategi pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu dalam perencanaan, pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, evaluasi, serta pemulihan, pengembangan dan konservasi sumberdaya lingkungan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Wilayah pesisir perlu kiranya untuk dibahas karena beberapa hal :
a. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang mempunyai daya dukung yang sangat tinggi. Sebagai akibatnya wilayah ini merupakan tempat terkosentrasinya berbagai kegiatan manusia. Bukanlah secara kebetulan apabila banyak kota besar terletak di pesisir.
b. Akibat aktifitas manusia yang tinggi diwilayah ini dan akibat posisi geografisnya, maka wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan lingkungan.
c. Kerusakan wilayah pesisir akan berpengaruh terhadap sebahagian besar wilayah lainnya.
d. Dalam rangka globalisasi dan zaman informasi seperti saat ini wilayah pesisir merupakan wilayah yang semakin penting, sebagai pintu gerbang informasi, lalu lintas barang dan transportasi massal yang relatif murah. (Tosepu, 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)