Buku dan Terapi Perasaan
”Mengapa saya tidak
bekerja? Bukankah saya dokter? Memang.. dan sangat mungkin saya bekerja waktu
itu. Namun saya pikir: buat apa uang tambahan dan kepuasanan batin yang
barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat
pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri kehilangan kedekatan
pada anak sendiri? apa artinya ketambahan uang dan kepuasan professional jika
akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk sendiri
pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu
bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi
tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup
pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu”
Ini adalah sepenggal
tulisan ibu Ainun yang saya baca dalam buku Habibie dan Ainun., banyak sih quotes lain
yang berkesan tapi kalimat ini representatif ukuran kecerdasan Ibu Ainun.
Buku ini yang jadi
buah bibir karena filmnya laris manis di negeri ini, dan ternyata filmnya dapat
piala emas pula dalam Indonesia Movie Awards.
Sudah baca bukunya? Atau sudah nonton filmnya? Saya kok lebih suka sama
bukunya, lebih mengharu biru. Film tak mampu menggambarkan rasa dan emosi
secara keseluruhan seperti yang dikisahkan pada reportase ‘romantisme’ intelektualitas
yang dituturkan oleh Bapak BJH ‘Romeo’ kisah
ini; Ibu Ainun selalu mendampingi BJH saat memberikan persentase ilmiahnya
bahkan Bapak BJH selalu melirik ke beliau saat menyampaikan orasinya, iIu Ainun begitu menginspirasi
BJH di atas mimbar. Ibu Ainun juga ternyata rutin membaca Al-qur’an 1 (satu) juz per
hari, Ibu Ainun dan BJH sering berkomunikasi tanpa kata menghayati pikiran dan
perasaan tanpa bicara dan semua ini tak tergambarkan dalam film yang di
sutradarai oleh Hanung Bramantio itu.
Buku memang bisa
mengabadikan kisah dan rasa, menulislah maka kisah itu kan abadi sepanjang
masa. Menulis memang terapi jiwa, berdialog dengan diri sendiri, merangkai
kisah dan rasa dalam bait-bait kata bisa jadi obat dan terapi perasaan. Selibat
pikiran dan emosi bisa tercurahkan dalam kata tanpa melibatkan orang lain maka
menulis adalah pilihan. Kata dapat menjadi cermin ajaib akan kenangan pada kesunyian, kesedihan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Semua bisa tersimpul utuh dalam bait kata-kata.
Begitu banyak kisah di
dunia ini,. dan setiap kisah pasti istimewa. Bukan saatnya lagi ‘berpikir tentang rasa’
kini saatnya ‘menulis tentang rasa’..[]