Sabtu, 01 Juni 2013

Terapi Rasa



                                                          Buku dan Terapi Perasaan


”Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang.. dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir: buat apa uang tambahan dan kepuasanan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? apa artinya ketambahan uang dan kepuasan professional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu”

Ini adalah sepenggal tulisan ibu Ainun yang saya baca dalam buku  Habibie dan Ainun., banyak sih quotes lain yang berkesan tapi kalimat ini representatif ukuran kecerdasan Ibu Ainun. 

Buku ini yang jadi buah bibir karena filmnya laris manis di negeri ini, dan ternyata filmnya dapat piala emas pula dalam Indonesia Movie Awards.  Sudah baca bukunya? Atau sudah nonton filmnya? Saya kok lebih suka sama bukunya, lebih mengharu biru. Film tak mampu menggambarkan rasa dan emosi secara keseluruhan seperti yang dikisahkan pada reportase ‘romantisme’ intelektualitas yang dituturkan oleh Bapak BJH  ‘Romeo’ kisah ini; Ibu Ainun selalu mendampingi BJH saat memberikan persentase ilmiahnya bahkan Bapak BJH selalu melirik ke beliau saat  menyampaikan orasinya, iIu Ainun begitu menginspirasi BJH di atas mimbar. Ibu Ainun juga ternyata rutin membaca Al-qur’an 1 (satu) juz per hari, Ibu Ainun dan BJH sering berkomunikasi tanpa kata menghayati pikiran dan perasaan tanpa bicara dan semua ini tak tergambarkan dalam film yang di sutradarai oleh Hanung Bramantio itu.

Buku memang bisa mengabadikan kisah dan rasa, menulislah maka kisah itu kan abadi sepanjang masa. Menulis memang terapi jiwa, berdialog dengan diri sendiri, merangkai kisah dan rasa dalam bait-bait kata bisa jadi obat dan terapi perasaan. Selibat pikiran dan emosi bisa tercurahkan dalam kata tanpa melibatkan orang lain maka menulis adalah pilihan. Kata dapat menjadi cermin ajaib akan kenangan pada kesunyian, kesedihan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Semua bisa tersimpul utuh dalam bait kata-kata. 

Begitu banyak kisah di dunia ini,. dan setiap kisah pasti istimewa. Bukan saatnya lagi ‘berpikir tentang rasa’ kini saatnya  ‘menulis tentang rasa’..[]