Minggu, 25 April 2010

Pemberdayaan Perempuan, Perempuan Diperdaya

Baru saja 21 April lewat, pemberdayaan perempuan rame di wacanakan dimana2, berikut tulisan yang igin sedikit berbagi tentang sisi sosial pemberdayaan perempuan dalam logika "Gender Equality"

Perjalanan Panjang Gender Equality
Dalam tujuan ketiga Millenium Development Goals (MDGs), Gender Equality dipandang sebagai kebutuhan mendasar bagi tercapainya keberhasilan pembangunan millennium. Negara-negara berkembang di dorong untuk segera mengadopsi konsep ini, dan selanjutnya memasukkannya dalam berbagai program pembangunan. Program-program pembangunan jangka menengah dan tahunan terus dikembangkan agar responsif gender. Program-program tersebut ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi (Laporan MDGS 2005).
Program lain yang terus diupayakan adalah memperkuat kelembagaan dalam pengarusutamaan gender dengan berusaha melaksanakan dua hal. Pertama: membentuk kesadaran masyarakat mengenai gender equality melalui pelatihan-pelatihan, training gender, diskusi-diskusi, sosialisasi melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat yang ditujukan bagi terjadinya perubahan pada level individu masyarakat mengenai gender. Kedua: melakukan transformasi sosial melalui instrumen institusi sosial yang ada dimasyarakat, seperti mengajukan rancangan UU berbasis gender yang mendukung kondisi lingkungan yang mampu menghilangkan stereotip gender.
Booming isu agenda gender mulai marak sejak Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference Population and Development-ICPD) di Kairo September 1994, yang menjadi batu loncatan penting untuk mencetuskan ide bahwa ‘perempuan’ adalah kata kunci bagi penyelesaian masalah ledakan kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk dunia dianggap akan membawa persoalan besar bagi peradaban dunia. Khususnya dalam hal pangan dan kemiskinan. Konferensi Kairo menghasilkan program aksi bertema “Empowerment of Women” atau yang lebih popular di Indonesia dengan istilah “Pemberdayaan Perempuan” yang menjadi kunci pembangunan berkelanjutan.
Jika Konfrensi Kairo menjadi momentum yang mendorong penyetaraan pria dan wanita di pelbagai bidang, Konfrensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) yang digelar di Beijing, Cina September 2005, telah menancapkan aksi yang lebih luas lagi. Konfrensi ini menghasilkan Beijing Platform for Actions-BPFA. Pada tahun ini juga dikenalkan wawasan Gender and Development (GAD) dengan penekanan pada kesadaran tentang kesetaraan gender dalam menilai kesuksesan pembangunan. GAD menekankan pentingnya kajian yang fundamental terhadap struktur sosial dan keterlibatan aktif perempuan pada penentuan kebijakan. Perhitungan yang dipakai adalah GDI (Gender Development Index), yaitu kesetaraan perempuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi serta GEM (Gender Empowerment Measure), yang mengukur kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam partisipasi politik dengan indikator kesetaraan yang sempurna (Perfect Equality) adalah 50/50. Deklarasi Millenium (MDGs) tahun 2000 adalah komitmen untuk menguatkan aksi BPFA yang melahirkan pemberdayaan perempuan sebagai salah satu dari 8 target pembangunan millennium.

Memahami Logika Gender
Diakui bahwa banyaknya persoalan perempuan memang telah memunculkan simpati yang sangat besar pada berbagai kalangan. Simpati ini kemudian terkristal menjadi sebuah ‘kesadaran’ untuk memperjuangkan nasib perempuan dengan cara dan metode tertentu. Gerakan inilah yang dikenal dengan istilah ‘feminisme’ yang sekalipun lahir dalam berbagai ragam dan bentuk, namun terdapat semacam konklusi umum bahwa sumber dari semua persoalan perempuan adalah kebudayaan patriarki yakni tatanan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa dibandingkan perempuan (konsep superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan). Budaya patriarki ini bisa terjadi di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara.
Terminology yang lebih familiar dipakai oleh feminis untuk menyebut kondisi ini adalah ketimpangan, ketidakadilan, atau disparitas yang berbasis gender. Mengapa gender? karena istilah gender sendiri, secara definitive diartikan sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (jenis kelamin sosial). Faktor ini selanjutnya dirinci menjadi faktor budaya, agama dan kultural. Inilah yang mereka anggap sebagai biang keladi merebaknya berbagai stereotype (pelabelan negatif), marginalisasi (pemiskinan ekonomi), subordinasi, dan kekerasan atas perempuan. Oleh karena itu, perlu ditekankan adanya perbedaan antara konsep gender dan konsep jenis kelamin (seks); seks lebih menunjuk pada peyifatan jenis secara biologis, sementara gender lebih menunjuk pada penyifatan yang dibentuk secara sosial budaya.
Sebuah ide, konsep atau pendapat hanya dapat dikatakan sebagai konsep pemikiran yang benar jika telah teruji kesesuaiannya dengan fakta. Jika tidak, ide tersebut hanyalah asumsi belaka. Isu gender memang telah memberikan efek bius yang kuat apalagi pada faktanya memang begitu banyak persoalan perempuan yang hingga saat ini sulit diselesaikan. Hanya saja, banyak aspek sosial dari gagasan seputar gender yang jika dicermati mengandung banyak kerancuan (ambivalensi) karena tidak sesuai dengan realitas:

1. Laki-laki dan perempuan sama

Salah satu ide dasar konsep kesetaraan gender; bahwa laki-laki dan perempuan sama. Sekalipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, perbedaan tersebut tidak boleh berimplikasi pada perbedaan gender, karena perbedaan gender hanya akan memunculkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan.
Dari definisi ini terlihat bahwa dalam persepsi feminis, gender hanya merupakan produk budaya (nurture), bukan alami (nature), yakni sekedar hasil persepsi suatu masyarakat atas apa yang disebut dengan sifat paten (kodrat) laki-laki dan sifat paten (kodrat) perempuan. Karena merupakan produk budaya, gender dapat dipertukarkan dan bersifat tidak permanen, yakni dapat berubah sejalan dengan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut.
Berdasarkan kerangka berpikir ini, kemudian muncul penolakan terhadap konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Tidak boleh misalnya, hanya karena secara biologis perempuan punya rahim dan payudara, kemudian dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan (feminim) seperti sifat lembut, keibuan, dan emosional sehingga secara kodrati perempuan harus menjalani fungsi-fungsi keibuan dan rumah tanggaan. Tidak boleh pula, laki-laki yang dianggap lahir dengan sifat-sifat maskulitasnya, lalu diarahkan untuk menjadi pemimpin atas kaum perempuan.
Bagi mereka, persepsi-persepsi seperti ini muncul lebih disebabkan faktor budaya yang berpengaruh terhadap pembentukan konsep gender itu sendiri di tengah masyarakat. Kebetulan saat ini budaya masyarakat sedang didominasi kultur patriaki yang menempatkan posisi laki-laki lebih superior di bandingkan perempuan. Budaya ini juga dianggap bertanggungjawab melahirkan mitos-mitos peran gender yang merugikan perempuan termasuk peran perempuan sebagai ibu yang dipandang ‘tidak strategis’ dan ‘tidak produktif’
Karena dianggap merugikan mereka terobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki ini menjadi masyarakat berkesetaraan, baik perubahan secara kultural (melalui perubahan pola pendidikan, pengasuhan anak, persepsi keagamaan yang dianggap bias gender) maupun secara struktural (melalui perubahan kebijakan). Mereka berharap, jika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar kelamin), maka pembagian peran sosial (domestic vis a vis a public) akan cair dengan sendirinya. Artinya, semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat.
Jika dicermati secara konseptual maupun praktis ide seperti ini sangat utopis, karena mereka seolah tak bisa menerima mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulitas dan feminitasnya, sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin mengabaikan fakta bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda. Lalu logika apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa didunia harus ada laki-laki dan perempuan dengan ‘bentuk’ dan ‘jenis’ yang berbeda, jika bukan karena keduanya memang memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Bukankah ketika perempuan memiliki rahim dan payudara, sementara laki-laki tidak berarti hanya perempuan yang bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Bukankah fungsi kehamilan, melahirkan, dan menyusui ini merupakan fungsi yang tak bisa digantikan laki-laki? Bukankah aneh jika setelah melahirkan kaum perempuan bisa melepas fungsi dan peran keibuannya dengan alasan perempuan pada dasarnya tidak harus menjadi ibu sehingga sehingga peran ini bisa dipertukarkan dengan laki-laki. Bukankah pada faktanya pria dan wanita memiliki perbedaan fisik; rata-rata pria memiliki otot yang lebih besar daripada wanita. Rata-rata wanita memiliki tulang pelvik yang lebih besar daripada pria dan ini sangat mendukung proses kehamilan dan kelahiran. Bukankah pria dan wanita juga memiliki hormon yang berbeda. Hormon-hormon pada wanita yang terbentuk pada saat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui berpengaruh pada sifat feminim wanita. Sifat yang disebabkan oleh hormon-hormon pada wanita ini ternyata sangat dibutuhkan oleh bayi yang tidak berdaya. Tanpa ada figur feminim yang mengasuhnya, kelangsungan hidup manusia tidak dapat berjalan secara sehat
Dari sini sebenarnya bisa terlihat adanya ketidakcermatan kaum feminis dalam memahami dan menyikapi realitas. Kesan emosional justru dominan tatkala menyikapi perbedaan tersebut sebagai sebuah ketidakadilan. Padahal realitasnya ‘tidak semua perbedaan berarti ketidakadilan’. Perbedaan peran dan fungsi ini justru memungkinkan direalisasikannya tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan, tanpa memandang apakah ia laki-laki ataukah perempuan.

2. Ketidaksetaraan gender merugikan perempuan

Adanya ketidaksetaraan (disparitas) gender dianggap sangat merugikan perempuan. Karena ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan munculnya berbagai ketidakadilan sistemik atas perempuan, seperti terjadinya praktik subordinasi dan marjinalisasi diberbagai bidang (kesehatan, ekonomi, politik, sosial, dan budaya), pelabelan negatif, maraknya kasus-kasus tindak kekerasan, dan lain-lain. Mereka melihat, bahwa selama ini kesalahan persepsi tentang gender yang dipengaruhi budaya patriarki telah begitu berpengaruh di dalam masyarakat; laki-laki diposisikan lebih serta punya power dan bargaining yang tinggi di hadapan perempuan; sementara kaum perempuan terpuruk di posisi-posisi rendah yang tidak menjanjikan, serba dilematis, serba lemah, dan bahkan ‘terpaksa’ hidup dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada laki-laki sehingga layak diperlakukan secara semena-mena.
Munculnya cara berpikir seperti ini sesungguhnya dipengaruhi oleh prinsip individualisme yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi lain. Prinsip ini telah menempatkan diri, ego, jenis, dan kelompok sebagai sumber orientasi. Salah satu contohnya ketika muncul persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka langsung memandang persoalan tersebut secara parsial, yakni sebagai persoalan internal kaum perempuan yang harus diselesaikan oleh perempuan melalui perspektif perempuan.
Secara faktual, klaim ini terbantah oleh kenyataan bahwa apa yang disebut-sebut oleh kalangan feminis sebagai ‘persoalan perempuan’ ternyata tidak hanya ‘milik’ kaum perempuan. Tidak sedikit kaum laki-laki yang juga mengalami subordinasi, marjinalisasi, tindak kekerasan, dll. Bahkan hari ini bukankah persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, submission, kesehatan yang buruk, malnutrisi, dan sebagainya menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan?

3. Liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan

Kalangan feminis meyakini bahwa liberalisasi/pembebasan perempuan merupakan pondasi untuk mencapai kemajuan, karena tatkala perempuan berhasil memperoleh kebebasan dan independensinya, berarti mereka telah keluar dari status inferior yang mereka miliki selama ini, sekaligus kesempatan secara ekspresif mengejar ‘ketertinggalan’ tanpa harus khawatir dengan pembatasan kultural dan struktural yang dianggap menghambat kehidupan mereka. Isu liberalisasi ini kemudian menjadi salah satu isu sentral bagi perjuangan feminis.
Harus diakui bahwa liberalisasi perempuan telah membawa banyak perubahan secara sosial dan budaya; banyak perempuan yang merasa bebas mengekspresikan dirinya, bekerja dibidang apapun yang diinginkan, berbuat apapun yang disukainya, tanpa harus merasa takut dengan berbagai tabu (termasuk konsep kodrat) yang selama ini dianggap mengekang mereka. Di AS, tercatat jumlah persentase perempuan bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75% pada tahun 2000, demikian juga Indonesia, meningkatnya jumlah perempuan terdidik termasuk semakin banyaknya perempuan yang berkiprah di bidang pemerintahan dianggap sebagai prestasi atas keberhasilan perjuangan pembebasan perempuan.
Persoalannya kita juga tidak dapat menutup mata bahwa pada saat yang bersamaan, isu ini juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena un-wed dan no-mar, merebaknya free sex, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema wanita karir, syndrome cinderella complex, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain yang ditengarai kuat menjadi efek langsung dari isu kebebasan perempuan. Negara-negara liberal, yang mengklaim dirinya sebagai negara maju, demikian gigihnya memperjuangkan cara hidup bebas yang lebih individualistis, padahal pada saat yang sama data justru mengungkapkan masalah besar yang melanda negara-negara maju ini berkaitan dengan kaum wanitanya. Negara-negara ini dilukiskan sedang menghadapi ancaman keambrukan sosial.
Di banyak negara maju, khususnya Inggris dan Amerika, perceraian keluarga menjadi obsesi. Statistik menunjukkan banyak kondisi perkawinan yang ‘diujung tanduk’. Mayoritas anak dibesarkan oleh orang tua tunggal. Perceraian meningkat pesat padahal akibat akhir dari perceraian adalah masyarakat yang tercerai berai. Di Swedia data menunjukkan 50% bayi-bayi lahir dari ibu yang tidak menikah. Lebih dari 50% perkawinan di Swedia berakhir dengan perceraian (The Economic, London). Wajar jika pada perkembangan selanjutnya muncul sikap penentangan dari sebagian masyarakat yang masih sadar atas bahaya racun yang tersembunyi di balik tawaran feminisme ini sebagai gerakan anti family, anti children, dan anti future, sayangnya semangat penolakan ide ini kalah gencar dengan janji-janji manis yang diembannya.


4. Kemandirian perempuan

Gerakan gender dalam pemberdayaan perempuan lebih ditekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum perempuan. Di bidang ekonomi, perempuan di dorong untuk mandiri dalam finansial. Selanjutnya perempuan yang telah mandiri secara finansial tidak perlu bergantung pada laki-laki (suami). Konteks kemandirian perempuan juga terkait dengan tidak adanya kewajiban untuk taat kepada suami. Jika perempuan telah berperan dalam finansial keluarga maka peran domestik tidak lagi bertumpu pada perempuan. Harus ada pembagian kerja dalam tugas-tugas domestik (rumah tangga), sebagaimana jasa perempuan mengambil alih peran publik. Peran keibuan tidak lagi menjadi tanggungjawab perempuan. Kaum laki-lakipun harus berperan dalam tanggungjawab pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga. Namun akhirnya, tidak ada satu pun pria maupun wanita yang mengambil peran utama dalam rumah tangga, karena keduanya bersaing keras di sektor publik. Pada titik ini kehancuran institusi keluarga semakin terbuka. Peran kepemimpinan yang dibebankan kepada kaum laki-laki akan melemah, karena perempuan pun menuntut kepemimpinan tersebut, merasa tak perlu taat karena toh secara finansial tidak tergantung lagi pada suami. Peran keibuan dan mengelola rumah tangga akan terabaikan, padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkualitas. Fenomena ini memunculkan anggapan bahwa konspirasi di balik program pemberdayaan perempuan versi ‘kesetaran gender’ tidak lebih bertujuan untuk menghancurkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga sekaligus menghapus peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi berkualitas prima yang secara bertahap akan membuat perempuan tidak lagi mementingkan institusi keluarga.
Pertanyaannya kemudian adalah benarkah kaum perempuan tertindas dalam ranah domestik hingga perlu dibebaskan? Benarkah rumahtangga adalah penjara bagi kaum perempuan? Benarkah peran domestik ibu rumah tangga merupakan sebuah perbudakan? Benarkah sifat feminim sebagai hasil bentukan kultur, demikian pula peran wanita dirumah tangga? Pandangan ini sering terbantahkan karena pada kenyataannya betapa banyak perempuan di berbagai belahan dunia yang secara sukarela, ikhlas dan tanpa merasa terpaksa selalu mendambakan peran sebagai ibu rumah tangga. Inipun diakui oleh kaum perempuan yang telah terpenjara dalam dunia matrealistis. Syndrome cinderella complex menjadi fenomena jeritan bagi perempuan-perempuan barat yang justru mendambakan sifat feminim di bawah perlindungan dan pengayoman maskulitas laki-laki. Contohnya adalah Bella Abzud (Salah satu pejuang feminis garis depan) yang ‘bertobat’ kemudian menentang agenda gender, penggodok BPFA Beijing ini sebelumnya menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan disegala lini, namun setelah kematian suaminya, ia seperti kapal kehilangan kemudi. Contoh lain kegagalan agenda gender terlihat pada Germaine Grerr yang menerbitkan buku, The Whole Women. Buku ini menggambarkan perjalanan melelahkan kaum feminis dalam upaya memperjuangkan kesetaraan gender dan pengakuan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diubah dari penciptaan manusia.
Akhirnya, boleh jadi sebagian kalangan berpandangan bahwa masyarakat berkesetaraan gender dapat menyelesaikan masalah, padahal pada kenyataanya sering menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks. Agenda gender jelas-jelas melawan fitrah dan kodrat penciptaan wanita yang berbeda dengan laki-laki, yang berkonsekuensi pada perbedaan peran dalam keluarga dan publik. Pembedaan ini justru merupakan cerminan kemahaadilan penciptaan manusia, yang dengan pembedaan ini pula pria dan wanita dituntut untuk saling mengisi dan berbagi dalam mengemban amanah kehidupan hingga bermuara pada tujuan yang sama yakni meraih kebahagian yang hakiki.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.